Format Formulir Beasiswa BKM

klik disini

http://www.ziddu.com/download/8740456/formbeasiswabkm.docx.html

posted under | 0 Comments

Format Formulir Beasiswa PPA

 
klik disini
http://www.ziddu.com/download/8740294/formulirbeasiswappa.docx.html

posted under | 0 Comments

Putri Tidur

posted under | 1 Comments

Kerentanan Kepunahan Spesies

Nama : Rina Sailifa
Kelas : Biologi Reguler 2008
NPM : 0813024044

MK : Keanekaragaman Hayati


Kerentanan kepunahan spesies dapat diakibatkan oleh sebab-sebab berikut :

1. spesies dengan sebaran geografis yang sempit
Artinya spesies tersebut hanya dapat hidup dan berkembangbiak di daerah khusus diakibatkan sumber makanannya tidak terdapat di daerah lain dan keadaan geografisnya berbeda dengan daerah lain Contohnya adalah koala yang memakan daun dari pohon eucalyptus yang hanya terdapat di daratan australia.

2. spesies yang hanya terdiri atas satu atau beberapa spesies
Spesies yang memiliki anggota yang sedikit, dapat diakibatkan oleh berkurangnya sumber makanan atau bertambahnya pemangsa.

3. spesies yang anggota populasinya sedikit
Populasi spesies sedikit karena berkurangnya sumber makanan, penyakit, keberadaan pemangsa dan lamanya waktu berkembangbiak.

4. spesies yang ukuran populasinya menurun
Hal yang menyebabkan populasi spesies menurun diantaranya adalah karena perburuan, penyakit dan lamanya kemampuan spesies tersebut untuk berkembangbiak. Contohnya adalah gajah. Gajah diburu untuk diambil gadingnya. Jika kegiatan ini terus dilakukan, lama kelamaan populasi gajah akan menurun, selain disebabkan kemampuan berkembangbiak gajah yang lama (hitungan bulan).

5. spesies dengan kepadatan populasi rendah
Apabila jumlah individu dalam satu populasi perluas wilayah berjumlah sedikit.

6. spesies yang memerlukan daerah jelajah yang luas
Kelompok burung yang bermigrasi karena berkurangnya sumber makanan di habitat lama.

7. spesies hewan dengan ukuran tubuh besar
Gajah, badak dan Kuda nil makin mudah diburu oleh hewan lain semisal harimau ataupun oleh manusia karena tidak lincah dalam berlari. Dan akan semakin mudah diburu oleh manusia dengan cara ditembak.spesies dengan tubuh yang besar secara otomatis juga memerlukan habitat yang luas. Akan menjadi masalah bila habitat yang dihuninya berkurang karena ulah manusia. Contohnya adalah beruang grizzly (Ursus arctos) di Yellowstone National Park. Beruang grizzly memerlukan habitat yang terpencil dan sangat luas.

8. spesies dengan kemampuan menyebar yang lemah
Spesies tertentu dengan tempat hidup yang khusus. Selain bila berada di tempat lain kelangsungan spesiesnya terancam akibat banyaknya predator. Contohnya adalah pada kasus Bull trout (Salvelinus confluentus) ikan air tawar asli barat laut Amerika Utara yang hanya menempati daerah anak sungai dan danau di sekitar pegunungan tinggi.

9. spesies yang bermigrasi musiman
migrasi adalah perpindahan habitat karena dihabitat sebelumnya sudah tidak tersedia lagi sumber makanan atau adanya pemangsa. Migrasi dilakukan berkelompok. Kelompok Burung-burung bermigrasi ke daerah yang jauh. Dalam perjalanan migrasinya itu adanya yang kelelahan atau bahkan mati.

10. spesies dengan variasi genetik yang rendah
Spesies dengan genetik homozigot. Sejumlah spesies tumbuhan, seperti Lousewort pedicularis dan beberapa rumput - rumputan memiliki keragaman sifat genetik yang rendah.


11. spesies yang memerlukan habitat khusus
Lumut memiliki habitat khusus di daerah lembab.

12. spesies yang hanya dijumpai pada lingkungan utuh dan stabil
Gurun. Gurun memiliki karakteristik lingkungan yang terlalu panas pada siang hari dan terlalu dingin pada malam hari, berpasir dan tandus. Hanya spesies tertentu seperti kurma, unta, kadal dan cheetah yang dapat hidup di daerah gurun seperti ini.

13. spesies yang membentuk kelompok
Spesies yang membentuk kelompok akan semakin memudahkan pemangsa untuk memburunya. Apabila ada sekelompok rusa, kemudian harimau melihat mereka, maka dengan ligat harimau tersebut berlari ke kerumunan itu dan dengan mudah memilih magsanya.

14. spesies yang telah terisolasi dan belum pernah kontak dengan manusia
Ikan piranha yang hidup di daerah pedalaman sungai afrika. Hidup terisolasi dari manusia. Memenuhi sumber makanannya hanya di daerah itu. Bila sumber makanan habis, piranha akan punah.

15. spesies yang diburu atau dipanen oleh manusia
Dari hewan, contohnya adalah gajah. Gajah diburu oleh manusia untuk diambil gadingnya, khususnya adalah gajah yang berumur tua yang gadingnya makin keras dan dapat dijual dengan harga tinggi. Gading gajah diburu untuk dibuat barang kerajinan seni. Contoh lain yang tak beda nasibnya adalah terumbu karang, yang telah lama dieksploitasi oleh manusia untuk kepentingan barang berdaya jual seni pula.


16. spesies yang berkerabat dekat dengan spesies yang telah punah atau terancam punah
Harimau dan singa sama-sama merupakan karnivora. Keduanya memakan daging atau hewan lain. Kita ambil contoh, harimau punah karena sumber makanannya berkurang. Hal ini dapat menyebabkan singa terancam punah karena singa juga memakan daging, sama dengan harimau. Contoh lain adalah dua spesies ikan yang berkerabat dekat dn dulu terisolasi yang daerah tinggalnya sekarang saling tumpang tindih. Bull trout (Salvelinus confluentus) dan kerabat dekatnya brook trout (Salvelinus fontinalis). Dulu, brook trout hanya ditemukan di anak sungai dan danau pada bagian timur laut di Amerika Utara. Brook trout sekarang sangat luas memasuki diseluruh wilayah pegunungan barat. Brook trout dapat mengalahkan bull trout daam kompetisi dan menyebabkan ancaman serius bagi bull trout di banyak daerah. Banyak populasi brook trout telah secara serius berkurang dalam wilayah tingkat asli spesies ini.

KONSERVASI KOMODO

Oleh
Aulia Ul Millah 0713024002
Hesti Nurmawati 0713024005
Siti Syara Nurmalia 0713024012
Yulia Catur Nugraheni 0713024013
Esti Astuti 0713024027


PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2009



PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang

Komodo adalah satu-satunya spesies terakhir dari keluarga monitor lizard yang mampu bertahan hidup dan berkembang. Diperkirakan masih ada sekitar 2.000 ekor lagi yang terpencar di Flores, yakni di pesisir Barat Manggarai dan pesisir Utara Kabupaten Ngada serta beberapa tempat di Kabupaten Ende. Bahkan hasil penelitian Auffenberg dari Amerika Serikat, komodo ditemukan sampai Timur Flores. Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List. Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi ini terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100), Gili Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor).

Ditinjau dari ilmu genetika, ekologi, dan populasi, diperlukan kehatian-hatian untuk melakukan konservasi ex situ. Sebab, jika dilakukan tanpa tinjauan ilmiah yang mendalam, hasilnya justru membantu mempercepat kepunahan suatu populasi.Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya.

Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya. Ini berarti, setelah dipindahkan ke lingkungan baru yang tidak sesuai dengan habitat semula, ada kemungkinan komodo tersebut menunda reproduksinya atau bahkan tidak dapat bereproduksi sama sekali. Jangan sampai tragedi kematian massal bekantan yang dipindahkan dari Kalimantan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu terulang kembali.

Oleh karena itu, dengan melihat beberapa penjelasan diatas maka kami melakukan penyusunan makalah yang berjudul Konservasi Komodo ini.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
• Mengetahui dan memahami tentang Konservasi Komodo
• Mencegah kepunahan Komodo akibat faktor tertentu

ISI

2.1 Penghuni Pulau Komodo

Komodo

Status konservasi


Rentan (IUCN 3.1)


Distribusi komodo



Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Animalia

Filum: Chordata

Kelas: Reptilia

Ordo: Squamata

Upaordo: Autarchoglossa

Famili: Varanidae

Genus: Varanus

Spesies: V. komodoensis

Nama binomial

Varanus komodoensis
Ouwens, 1912


Komodo adalah hewan asli Kepulauan Flores, Nusa Tenggara. Pulau yang paling banyak ditempati komodo ini diberi nama sesuai dengan nama hewan ini saat ditemukan pada 1910, yakni Pulau Komodo (Komodo Island).
Kadal-kadal raksasa ini termasuk hewan yang nyaris punah dengan jumlah populasi di alam liar kurang dari 4.000 ekor. Untuk melindungi komodo, pada 1980 disepakati untuk membentuk kawasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional Komodo di Pulau Komodo dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Sebaran dan populasi komodo dalam tiga dasawarsa terakhir ini semakin menurun dan keberadaannya semakin terancam, terutama akibat kegiatan perburuan rusa, sebagai mangsa utamanya. Bahkan populasi di Pulau Padar diketahui telah hilang sejak akhir 1990-an, padahal pada awal tahun 1980-an, komodo masih dapat dijumpai di sana. Perhatian dan upaya konservasi spesies ini perlu diberikan secara khusus, karena populasi komodo diambang kepunahan.
Bagi sebagian penduduk di Pulau Komodo, hewan ini dianggap lebih berbahaya terhadap manusia daripada buaya, karena kandungan bakteri pada air liurnya yang dapat menyebabkan infeksi berat.
Biasanya, musim kawin komodo terjadi antara Juni-Juli. Pada Agustus, komodo betina akan menggali sarang berupa gundukan bekas sarang burung Gosong (Megapodius reindwardt) di bukit dan sarang lubang di tanah, untuk menyimpan telurnya yang dapat mencapai 38 butir. Telur komodo biasanya dijaga oleh induknya, namun anak yang baru lahir pada bulan Februari atau Maret tidak dijaga, malah sering dimakan.
Komodo membutuhkan lima tahun untuk tumbuh sampai ukuran dua meter dan dapat terus hidup sampai 30 tahun. Memasuki 4-5 tahun adalah masa awal kematangan komodo secara seksual.
Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis), adalah spesies kadal terbesar di dunia yang hidup di pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami di Nusa Tenggara.Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora.
2.2 Informasi Umum Tentang Komodo
Termasuk anggota famili biawak Varanidae, dan klad Toxicofera, komodo merupakan kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 m. Ukurannya yang besar ini berhubungan dengan gejala gigantisme pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan tertentu yang hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanya mamalia karnivora di pulau tempat hidup komodo, dan laju metabolisme komodo yang kecil. Karena besar tubuhnya, kadal ini menduduki posisi predator puncak yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup.
Komodo ditemukan oleh peneliti barat tahun 1910. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat mereka populer di kebun binatang. Habitat komodo di alam bebas telah menyusut akibat aktivitas manusia dan karenanya IUCN memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan. Biawak besar ini kini dilindungi di bawah peraturan pemerintah Indonesia dan sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, didirikan untuk melindungi mereka.
2.3 Anatomi dan Morfologi
Di alam bebas, sering memiliki bobot tubuh yang lebih besar komodo dewasa biasanya memiliki massa sekitar 70 kilogram,namun komodo yang dipelihara di penangkaran. Spesimen liar terbesar yang pernah ada memiliki panjang sebesar 3.13 meter dan berat sekitar 166 kilogram, termasuk berat makanan yang belum dicerna di dalam perutnya. Meski komodo tercatat sebagai kadal terbesar yang masih hidup, namun bukan yang terpanjang. Reputasi ini dipegang oleh biawak Papua (Varanus salvadorii). Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2.5 cm, yang kerap diganti. Air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka. Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang. Komodo jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan kecil kuning pada tenggorokannya. Komodo muda lebih berwarna, dengan warna kuning, hijau dan putih pada latar belakang hitam.
2.4 Fisiologi
Komodo tak memiliki indera pendengaran, meski memiliki lubang telinga. Biawak ini mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel kerucut, hewan ini agaknya tak begitu baik melihat di kegelapan malam. Komodo mampu membedakan warna namun tidak seberapa mampu membedakan obyek yang tak bergerak. Komodo menggunakan lidahnya untuk mendeteksi rasa dan mencium stimuli, seperti reptil lainnya, dengan indera vomeronasal memanfaatkan organ Jacobson, suatu kemampuan yang dapat membantu navigasi pada saat gelap. Dengan bantuan angin dan kebiasaannya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi keberadaan daging bangkai sejauh 4—9.5 kilometer. Lubang hidung komodo bukan merupakan alat penciuman yang baik karena mereka tidak memiliki sekat rongga badan. Hewan ini tidak memiliki indra perasa di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf perasa di bagian belakang tenggorokan.
Sisik-sisik komodo, beberapa di antaranya diperkuat dengan tulang, memiliki sensor yang terhubung dengan saraf yang memfasilitasi rangsang sentuhan. Sisik-sisik di sekitar telinga, bibir, dagu dan tapak kaki memiliki tiga sensor rangsangan atau lebih.
Komodo pernah dianggap tuli ketika penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang meningkat dan teriakan ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada komodo liar. Hal ini terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor melatih biawak untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak terlihat oleh si biawak.

2.5 Ekologi, perilaku dan cara hidup
Komodo secara alami hanya ditemui di Indonesia, di pulau Komodo, Flores dan Rinca dan beberapa pulau lainnya di Nusa Tenggara. Hidup di padang rumput kering terbuka, sabana dan hutan tropis pada ketinggian rendah, biawak ini menyukai tempat panas dan kering ini. Mereka aktif pada siang hari, walaupun terkadang aktif juga pada malam hari. Komodo adalah binatang yang penyendiri, berkumpul bersama hanya pada saat makan dan berkembang biak. Reptil besar ini dapat berlari cepat hingga 20 kilometer per jam pada jarak yang pendek; berenang dengan sangat baik dan mampu menyelam sedalam 4.5 meter; serta pandai memanjat pohon menggunakan cakar mereka yang kuat. Untuk menangkap mangsa yang berada di luar jangkauannya, komodo dapat berdiri dengan kaki belakangnya dan menggunakan ekornya sebagai penunjang. Dengan bertambahnya umur, komodo lebih menggunakan cakarnya sebagai senjata, karena ukuran tubuhnya yang besar menyulitkannya memanjat pohon.
Untuk tempat berlindung, komodo menggali lubang selebar 1–3 meter dengan tungkai depan dan cakarnya yang kuat. Karena besar tubuhnya dan kebiasaan tidur di dalam lubang, komodo dapat menjaga panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu berjemur pada pagi selanjutnya. Komodo umumnya berburu pada siang hingga sore hari, tetapi tetap berteduh selama bagian hari yang terpanas.Tempat-tempat sembunyi komodo ini biasanya berada di daerah gumuk atau perbukitan dengan semilir angin laut, terbuka dari vegetasi, dan di sana-sini berserak kotoran hewan penghuninya. Tempat ini umumnya juga merupakan lokasi yang strategis untuk menyergap rusa.
2.6 Perilaku makan
Komodo adalah hewan karnivora. Walaupun mereka kebanyakan makan daging bangkai, penelitian menunjukkan bahwa mereka juga berburu mangsa hidup dengan cara mengendap-endap diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika mangsa itu tiba di dekat tempat sembunyi komodo, hewan ini segera menyerangnya pada sisi bawah tubuh atau tenggorokan. Komodo dapat menemukan mangsanya dengan menggunakan penciumannya yang tajam, yang dapat menemukan binatang mati atau sekarat pada jarak hingga 9,5 kilometer.
Reptil purba ini makan dengan cara mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya bulat-bulat sementara tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga sebesar kambing, bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh. Air liur yang kemerahan dan keluar dalam jumlah banyak amat membantu komodo dalam menelan mangsanya. Meski demikian, proses menelan tetap memakan waktu yang panjang; 15–20 menit diperlukan untuk menelan seekor kambing.
Komodo terkadang berusaha mempercepat proses menelan itu dengan menekankan daging bangkai mangsanya ke sebatang pohon, agar karkas itu bisa masuk melewati kerongkongannya. Dan kadang-kadang pula upaya menekan itu begitu keras sehingga pohon itu menjadi rebah. Untuk menghindari agar tak tercekik ketika menelan, komodo bernafas melalui sebuah saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya. Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan leluasa, tengkoraknya yang lentur, dan lambungnya yang dapat melar luar biasa memungkinkan komodo menyantap mangsa yang besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam satu kali makan. Setelah makan, komodo menyeret tubuhnya yang kekenyangan mencari sinar matahari untuk berjemur dan mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan metabolismenya yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali setahun atau kira-kira sekali sebulan. Setelah daging mangsanya tercerna, komodo memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk, gumpalan mana dikenal sebagai gastric pellet. Setelah itu komodo menyapukan wajahnya ke tanah atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel; perilaku yang menimbulkan dugaan bahwa komodo, sebagaimana halnya manusia, tidak menyukai bau ludahnya sendiri.
Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti yang berukuran lebih kecil menurut hirarki. Jantan terbesar menunjukkan dominansinya melalui bahasa tubuh dan desisannya; yang disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuannya atas kekuasaan itu. Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara semacam gulat biawak, hingga salah satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun adakalanya yang kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang.
Mangsa biawak komodo amat bervariasi, mencakup aneka avertebrata, reptil lain (termasuk pula komodo yang bertubuh lebih kecil), burung dan telurnya, mamalia kecil, monyet, babi hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Komodo muda memangsa serangga, telur, cecak, dan mamalia kecil. Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal. Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan batu-batu agar tak dapat digali komodo.
Ada pula yang menduga bahwa komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil Stegodon yang pernah hidup di Flores. Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan dan menakuti rusa-rusa betina yang tengah hamil, dengan harapan agar keguguran dan bangkai janinnya dapat dimangsa; suatu perilaku yang juga didapati pada predator besar di Afrika.
Karena tak memiliki sekat rongga badan, komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air untuk minum (seperti kucing). Alih-alih, komodo mengambil air dengan seluruh mulutnya, lalu mengangkat kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya.
2.7 Bisa dan bakteri
Pada akhir 2005, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa biawak Perentie (Varanus giganteus) dan biawak-biawak lainnya, serta kadal-kadal dari suku Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa. Selama ini diketahui bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat rawan infeksi karena adanya bakteria yang hidup di mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para peneliti ini menunjukkan bahwa efek langsung yang muncul pada luka-luka gigitan itu disebabkan oleh masuknya bisa berkekuatan menengah. Para peneliti ini telah mengamati luka-luka di tangan manusia akibat gigitan biawak Varanus varius, V. scalaris dan komodo, dan semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa: bengkak secara cepat dalam beberapa menit, gangguan lokal dalam pembekuan darah, rasa sakit yang mencekam hingga ke siku, dengan beberapa gejala yang bertahan hingga beberapa jam kemudian.
Di samping mengandung bisa, air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya; lebih dari 28 bakteri Gram-negatif dan 29 Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini. Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada korbannya; jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial ini akan mati dalam waktu satu minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling mematikan di air liur komodo adalah bakteri Pasteurella multocida yang sangat mematikan; diketahui melalui percobaan dengan tikus laboratorium. Karena komodo nampaknya kebal terhadap mikrobanya sendiri, banyak penelitian dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan harapan dapat digunakan untuk pengobatan manusia.

2.8 Reproduksi
Musim kawin terjadi antara bulan Mei dan Agustus, dan telur komodo diletakkan pada bulan September. Selama periode ini, komodo jantan bertempur untuk mempertahankan betina dan teritorinya dengan cara "bergulat" dengan jantan lainnya sambil berdiri di atas kaki belakangnya. Komodo yang kalah akan terjatuh dan "terkunci" ke tanah. Kedua komodo jantan itu dapat muntah atau buang air besar ketika bersiap untuk bertempur. Pemenang pertarungan akan menjentikkan lidah panjangnya pada tubuh si betina untuk melihat penerimaan sang betina. Komodo betina bersifat antagonis dan melawan dengan gigi dan cakar mereka selama awal fase berpasangan. Selanjutnya, jantan harus sepenuhnya mengendalikan betina selama bersetubuh agar tidak terluka. Perilaku lain yang diperlihatkan selama proses ini adalah jantan menggosokkan dagu mereka pada si betina, garukan keras di atas punggung dan menjilat. Kopulasi terjadi ketika jantan memasukan salah satu hemipenisnya ke kloaka betina. Komodo dapat bersifat monogamus dan membentuk "pasangan," suatu sifat yang langka untuk kadal.
Betina akan meletakkan telurnya di lubang tanah, mengorek tebing bukit atau gundukan sarang burung gosong berkaki-jingga yang telah ditinggalkan. Komodo lebih suka menyimpan telur-telurnya di sarang yang telah ditinggalkan. Sebuah sarang komodo rata-rata berisi 20 telur yang akan menetas setelah 7–8 bulan. Betina berbaring di atas telur-telur itu untuk mengerami dan melindunginya sampai menetas di sekitar bulan April, pada akhir musim hujan ketika terdapat sangat banyak serangga.
Proses penetasan adalah usaha melelahkan untuk anak komodo, yang keluar dari cangkang telur setelah menyobeknya dengan gigi telur yang akan tanggal setelah pekerjaan berat ini selesai. Setelah berhasil menyobek kulit telur, bayi komodo dapat berbaring di cangkang telur mereka untuk beberapa jam sebelum memulai menggali keluar sarang mereka. Ketika menetas, bayi-bayi ini tak seberapa berdaya dan dapat dimangsa oleh predator.
Komodo muda menghabiskan tahun-tahun pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator, termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang sekitar 10% dari makanannya adalah biawak-biawak muda yang berhasil diburu. Komodo membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup lebih dari 50 tahun.
Di samping proses reproduksi yang normal, terdapat beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan anak tanpa kehadiran pejantan (partenogenesis), fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya seperti pada Cnemidophorus.
2.9 Partenogenesis
Sungai, seekor komodo di Kebun Binatang London, telah bertelur pada awal tahun 2006 setelah dipisah dari jantan selama lebih dari dua tahun. Ilmuwan pada awalnya mengira bahwa komodo ini dapat menyimpan sperma beberapa lama hasil dari perkawinan dengan komodo jantan di waktu sebelumnya, suatu adaptasi yang dikenal dengan istilah superfekundasi.
Pada tanggal 20 Desember 2006, dilaporkan bahwa Flora, komodo yang hidup di Kebun Binatang Chester, Inggris adalah komodo kedua yang diketahui menghasilkan telur tanpa fertilisasi (pembuahan dari perkawinan): ia mengeluarkan 11 telur, dan 7 di antaranya berhasil menetas. Peneliti dari Universitas Liverpool di Inggris utara melakukan tes genetika pada tiga telur yang gagal menetas setelah dipindah ke inkubator, dan terbukti bahwa Flora tidak memiliki kontak fisik dengan komodo jantan. Setelah temuan yang mengejutkan ini, pengujian lalu dilakukan terhadap telur-telur Sungai dan mendapatkan bahwa telur-telur itupun dihasilkan tanpa pembuahan dari luar.
Ketujuh anak komodo keturunan Flora ini lahir dalam keadaan sehat dan hanya makan jangkrik dan belalang sebagai makanan dietnya. Ini sesuai dengan kehidupan asli komodo di alam liar.
Berdasarkan pengetahuan ilmiah, saat tumbuh dewasa, bayi-bayi komodo bisa mencapai ukuran panjang 10 kaki (3 meter) dan memiliki berat sekitar 300 pon (135 kilogram). Jika mencapai ukuran luar biasa ini, mereka akan sanggup menyantap bulat-bulat seekor babi atau rusa.
Selera makan yang buas pada reptil ini menjelaskan mengapa Flora tidak dibiarkan berada dekat dengan anak-anaknya. Tidak ada insting keibuan pada diri komodo. Jadi, sangat alami untuk tetap menjaga anak-anaknya menjauh dari induknya. Induknya akan mencoba memakan apa saja yang mendekat di depan hidungnya.
Menurut data, sekitar 70 spesies reptil termasuk ular dan kadal dikenal mampu bereproduksi secara aseksual (tanpa berhubungan kelamin) dalam sebuah proses yang dikenal secara ilmiah sebagai partenogenesis. Namun, konsepsi keperawanan (virginitas) Flora dan naga komodo lainnya pada April lalu di kebun binatang London merupakan yang pertama kali didokumentasikan.
Dua konsepsi virginitas ini diumumkan pada September, yang tertuang dalam makalah ilmiah dalam jurnal Nature.

Komodo memiliki sistem penentuan seks kromosomal ZW, bukan sistem penentuan seks XY. Keturunan Flora yang berkelamin jantan, menunjukkan terjadinya beberapa hal. Bahwa telur Flora yang tidak dibuahi bersifat haploid pada mulanya dan kemudian menggandakan kromosomnya sendiri menjadi diploid; dan bahwa ia tidak menghasilkan telur diploid, sebagaimana bisa terjadi jika salah satu proses pembelahan-reduksi meiosis pada ovariumnya gagal. Ketika komodo betina (memiliki kromosom seks ZW) menghasilkan anak dengan cara ini, ia mewariskan hanya salah satu dari pasangan-pasangan kromosom yang dipunyainya, termasuk satu dari dua kromosom seksnya. Satu set kromosom tunggal ini kemudian diduplikasi dalam telur, yang berkembang secara partenogenetika. Telur yang menerima kromosom Z akan menjadi ZZ (jantan); dan yang menerima kromosom W akan menjadi WW dan gagal untuk berkembang.
Diduga bahwa adaptasi reproduktif semacam ini memungkinkan seekor hewan betina memasuki sebuah relung ekologi yang terisolasi (seperti halnya pulau) dan dengan cara partenogenesis kemudian menghasilkan keturunan jantan. Melalui perkawinan dengan anaknya itu di saat yang berikutnya hewan-hewan ini dapat membentuk populasi yang bereproduksi secara seksual, karena dapat menghasilkan keturunan jantan dan betina. Meskipun adaptasi ini bersifat menguntungkan, kebun binatang perlu waspada kerena partenogenesis mungkin dapat mengurangi keragaman genetika.
Pada 31 Januari 2008, Kebun Binatang Sedgwick County di Wichita, Kansas menjadi kebun binatang yang pertama kali mendokumentasi partenogenesis pada komodo di Amerika. Kebun binatang ini memiliki dua komodo betina dewasa, yang salah satu di antaranya menghasilkan 17 butir telur pada 19-20 Mei 2007. Hanya dua telur yang diinkubasi dan ditetaskan karena persoalan ketersediaan ruang; yang pertama menetas pada 31 Januari 2008, diikuti oleh yang kedua pada 1 Pebruari. Kedua anak komodo itu berkelamin jantan.
2.10 Evolusi
Perkembangan evolusi komodo dimulai dengan marga Varanus, yang muncul di Asia sekitar 40 juta tahun yang silam dan lalu bermigrasi ke Australia. Sekitar 15 juta tahun yang lalu, pertemuan lempeng benua Australia dan Asia Tenggara memungkinkan para biawak bergerak menuju wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang. Komodo diyakini berevolusi dari nenek-moyang Australianya pada sekitar 4 juta tahun yang lampau, dan meluaskan wilayah persebarannya ke timur hingga sejauh Timor. Perubahan-perubahan tinggi muka laut semenjak zaman Es telah menjadikan agihan komodo terbatas pada wilayah sebarannya yang sekarang.
2.11 Komodo dan manusia
Komodo pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika Peter Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor, menerbitkan paper tentang komodo setelah menerima foto dan kulit reptil ini. Nantinya, komodo adalah faktor pendorong dilakukannya ekspedisi ke pulau Komodo oleh W. Douglas Burden pada tahun 1926. Setelah kembali dengan 12 spesimen yang diawetkan dan 2 ekor komodo hidup, ekspedisi ini memberikan inspirasi untuk film King Kong tahun 1933. W. Douglas Burden adalah orang yang pertama memberikan nama "Komodo dragon" kepada hewan ini. Tiga dari spesimen komodo yang diperolehnya dibentuk kembali menjadi hewan pajangan dan hingga kini masih disimpan di Museum Sejarah Alam Amerika.
2.12 Penelitian
Orang Belanda, karena menyadari berkurangnya jumlah hewan ini di alam bebas, melarang perburuan komodo dan membatasi jumlah hewan yang diambil untuk penelitian ilmiah. Ekspedisi komodo terhenti semasa Perang Dunia II, dan tak dilanjutkan sampai dengan tahun 1950an dan ‘60an tatkala dilakukan penelitian-penelitian terhadap perilaku makan, reproduksi dan temperatur tubuh komodo. Pada tahun-tahun itu, sebuah ekspedisi yang lain dirancang untuk meneliti komodo dalam jangka panjang. Tugas ini jatuh ke tangan keluarga Auffenberg, yang kemudian tinggal selama 11 bulan di Pulau Komodo di tahun 1969. Selama masa itu, Walter Auffenberg dan Putra Sastrawan sebagai asistennya, berhasil menangkap dan menandai lebih dari 50 ekor komodo. Hasil ekspedisi ini ternyata sangat berpengaruh terhadap meningkatnya penangkaran komodo. Penelitian-penelitian yang berikutnya kemudian memberikan gambaran yang lebih terang dan jelas mengenai sifat-sifat alami komodo, sehingga para biolog seperti halnya Claudio Ciofi dapat melanjutkan kajian yang lebih mendalam
2.13 Konservasi
Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List. Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi ini terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100), Gili Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor). Meski demikian, ada keprihatinan mengenai populasi ini karena diperkirakan dari semuanya itu hanya tinggal 350 ekor betina yang produktif dan dapat berbiak. Bertolak dari kekhawatiran ini, pada tahun 1980 Pemerintah Indonesia menetapkan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan Padar.
Belakangan ditetapkan pula Cagar Alam Wae Wuul dan Wolo Tado di Pulau Flores untuk membantu pelestarian komodo. Namun pada sisi yang lain, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa komodo, setidaknya sebagian, telah terbiasa pada kehadiran manusia. Komodo-komodo ini terbiasa diberi makan karkas hewan ternak, sebagai atraksi untuk menarik turis pada beberapa lokasi kunjungan.
Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami,berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya menyumbang pada status rentan yang disandang komodo. CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species) telah menetapkan bahwa perdagangan komodo, kulitnya, dan produk-produk lain dari hewan ini adalah ilegal.
Meskipun jarang terjadi, komodo diketahui dapat membunuh manusia. Pada tanggal 4 Juni 2007, seekor komodo diketahui menyerang seorang anak laki-laki berumur delapan tahun. Anak ini kemudian meninggal karena perdarahan berat dari luka-lukanya. Ini adalah catatan pertama mengenai serangan yang berakibat kematian pada 33 tahun terakhir.
• Populasi kecil
Ditinjau dari segi ilmiah, populasi komodo yang amat khas ini dapat digolongkan ke dalam island population di mana populasi yang mungkin ribuan dan bahkan jutaan tahun yang lalu menciut menjadi populasi-populasi kecil yang memiliki tingkat keragaman genetik yang khas, sesuai habitatnya.
Jadi, populasi komodo di Manggarai Barat dan di Pulau Komodo memiliki ciri khas populasi akibat sudah teradaptasinya gen-gen spesifik pada lingkungan yang spesifik pula.
Perlu diluruskan kembali, inbreeding tidak selalu merugikan. Dalam banyak hal, inbreeding merupakan salah satu metode persilangan yang banyak dimanfaatkan untuk memurnikan suatu breed atau galur (line).
Jika level coeficient inbreeding ini sudah mencapai angka tertentu, misalnya di atas 25 persen untuk ternak domestik, maka ”jika” ada gen yang merugikan yang ada dalam galur (line) itu, peluang gen itu muncul secara homozigot akan lebih besar.
Sebaliknya, jika tidak ada gen lethal yang merugikan pada galur itu, koefisien inbreeding yang tinggi sekalipun tidak akan menurunkan fitness galur tersebut.
Hal ini tentu akan sangat berbeda pada populasi satwa liar. Konsep survival the fittest biasanya berlalu pada hewan liar. Hanya para pejantan dan induk yang unggul saja yang dapat kawin dan berkembang biak serta menghasilkan keturunan.
Komposisi gen dan daya adaptasi gen inilah yang menjadi kunci keberhasilan satwa liar dalam berkembang biak dan bertahan untuk meredam fluktuasi kondisi lingkungan yang berubah setiap saat. Hal ini telah berlangsung ribuan tahun dan dengan level koefisien inbreeding yang sangat tinggi pun depresi inbreeding tidak begitu berpengaruh.
Sebagai contoh kasus cheetah di Afrika dan belahan dunia ini. Koefisien inbreeding-nya mencapai di atas 90 persen. Hal ini berarti, hampir dipastikan bahwa semua cheetah di dunia ini berkerabat. Pada kenyataannya, populasi cheetah masih dapat bertahan dan berkembang biak dengan baik.
Pada kasus komodo, kemungkinan besar justru inbreeding yang telah terjadi dalam kurun ribuan tahun ini menguntungkan bagi populasi komodo. Perlu diingat, dalam istilah genetika, populasi disebut dengan geographic specific population.
Mengingat terisolasinya habitat komodo ini, kemungkinan besar genetiknya murni dan kalaupun terjadi persilangan, persilangan terjadi dengan komodo asal Pulau Komodo.
Selain itu, karena populasi ini khas dan terisolir, maka tujuan memindahkan populasi komodo Manggarai untuk memurnikan genetic.
Justru sebaliknya, biasanya populasi yang tergolong ke dalam island population ini memiliki kemurnian yang tinggi dan spesifik lokasi.
• Perlu kehati-hatian
Ditinjau dari ilmu genetika, ekologi, dan populasi, diperlukan kehatian-hatian untuk melakukan konservasi ex situ. Sebab, jika dilakukan tanpa tinjauan ilmiah yang mendalam, hasilnya justru membantu mempercepat kepunahan suatu populasi.
Jika suatu individu atau kelompok individu dipindahkan dari habitatnya, biasanya individu ini mengalami berbagai stres, mulai dari stres akibat penangkapan, stres akibat tidak sesuainya dengan habitat baru, stres perubahan pakan, stres perubahan iklim, dan lainnya.
Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya. Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya.
Ini berarti, setelah dipindahkan ke lingkungan baru yang tidak sesuai dengan habitat semula, ada kemungkinan komodo tersebut menunda reproduksinya atau bahkan tidak dapat bereproduksi sama sekali.
Jadi, diperlukan suatu kehatian-hatian dalam menerapkan kebijakan pemindahan komodo. Jangan sampai niat baik ini akan menjadi petaka kehilangan subpopulasi komodo yang hanya dapat ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Jangan sampai tragedi kematian massal bekantan yang dipindahkan dari Kalimantan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu terulang kembali.
2.14 Penangkaran
Telah semenjak lama komodo menjadi tontonan yang menarik di pelbagai kebun binatang, terutama karena ukuran tubuh dan reputasinya yang membuatnya begitu populer. Meski demikian hewan ini jarang dipunyai kebun binatang, karena komodo rentan terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit, serta tak mudah berkembang biak.
Komodo yang pertama dipertontonkan adalah pada Kebun Binatang Smithsonian di tahun 1934, namun hewan ini hanya bertahan hidup selama dua tahun. Upaya-upaya untuk memelihara reptil ini terus dilanjutkan, namun usia binatang ini dalam tangkaran tak begitu panjang, rata-rata hanya 5 tahun di kebun binatang tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Walter Auffenberg di atas, yang hasilnya kemudian diterbitkan sebagai buku The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor, pada akhirnya memungkinkan pemeliharaan dan pembiakan satwa langka ini di penangkaran.
Telah teramati bahwa banyak individu komodo yang dipelihara memperlihatkan perilaku yang jinak untuk jangka waktu tertentu. Dilaporkan pada banyak kali kejadian, bahwa para pawang berhasil membawa keluar komodo dari kandangnya untuk berinteraksi dengan pengunjung, termasuk pula anak-anak di antaranya, tanpa akibat yang membahayakan pengunjung. Komodo agaknya dapat mengenali orang satu persatu. Ruston Hartdegen dari Kebun Binatang Dallas melaporkan bahwa komodo-komodo yang dipeliharanya bereaksi berbeda apabila berhadapan dengan pawang yang biasa memeliharanya, dengan pawang lain yang kurang lebih sudah dikenal, atau dengan pawang yang sama sekali belum dikenal.
Penelitian terhadap komodo peliharaan membuktikan bahwa hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai komodo yang mau mendorong sekop yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata memperlihatkan bahwa hewan itu tertarik pada suara yang ditimbulkan sekop ketika menggeser sepanjang permukaan yang berbatu. Seekor komodo betina muda di Kebun Binatang Nasional di Washington, D.C. senang meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk patung-patung, kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo ini pun senang memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka obyek lainnya. Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda tadi dengan makanan; ia baru memakannya apabila benda-benda tadi dilumuri dengan darah tikus. Perilaku bermain-main ini dapat diperbandingkan dengan perilaku bermain mamalia.
Catatan lain mengenai kesenangan bermain komodo didapat dari Universitas Tennessee. Seekor komodo muda yang diberi nama "Kraken" bermain dengan gelang-gelang plastik, sepatu, ember, dan kaleng, dengan cara mendorongnya, memukul-mukulnya, dan membawanya dengan mulutnya. Kraken memperlakukan benda-benda itu berbeda dengan apa yang menjadi makanannya, mendorong Gordon Burghardt –peneliti– menyimpulkan bahwa hewan-hewan ini telah mementahkan pandangan bahwa permainan semacam itu adalah “perilaku predator bermotif-pemangsaan”.
Komodo yang nampak jinak sekalipun dapat berperilaku agresif secara tak terduga, khususnya apabila teritorinya dilanggar oleh seseorang yang tak dikenalnya. Pada bulan Juni 2001, serangan seekor komodo menimbulkan luka-luka serius pada Phil Bronstein -- editor eksekutif harian San Francisco Chronicle dan bekas suami Sharon Stone, seorang aktris Amerika terkenal -- ketika ia memasuki kandang binatang itu atas undangan pawangnya. Bronstein digigit komodo itu di kakinya yang telanjang, setelah si pawang menyarankannya agar membuka sepatu putihnya, yang dikhawatirkan bisa memancing perhatian si komodo. Meski pria itu berhasil lolos, namun ia membutuhkan pembedahan untuk menyambung kembali tendon ototnya yang terluka.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai konservasi biodiversitas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List. Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar
2. Pemerintah Indonesia menetapkan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan Padar.
3. Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami,berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya menyumbang pada status rentan yang disandang komodo merupakan bebeapa penyebab rentannya kepunahan komodo.
4. Ditinjau dari segi ilmiah, populasi komodo yang amat khas ini dapat digolongkan ke dalam island population di mana populasi yang mungkin ribuan dan bahkan jutaan tahun yang lalu menciut menjadi populasi-populasi kecil yang memiliki tingkat keragaman genetik yang khas, sesuai habitatnya.
5. Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya. Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya.



DAFTAR PUSTAKA

www.Wikipedia.org/wiki/berkas; Veranus_komodoensis
Http://epaper.kompas.com/
Http://www.lombokwisata.com/sejarah-wisata-pulau-komodo-dragon-indonesia.htm

Konservasi Biodiversitas

Pendahuluan

Kepunahan merupakan fakta hidup. Spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Kita dapat memahami ini melalui catatan fosil. Tetapi, spesies sekarang ini menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan olej kegiatan manusia. Di masa geologi yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang mengisi celah atau ruang yang ditinggalka. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah hilang.

Beberapa spesies lebih rentan terhadap kepunahan daripada yang lain. Ini termasuk:

 Spesies pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar (misal macan). Karnivora besar biasanya memerlukan teritorial yang luas untuk mendapatkan mangsa yang cukup. Oleh karena populasi manusia terusu merambah areal hutan dan oleh karena habitatnya menyusut, maka jumlah karnivora yang dapat ditampung juga menurun.
 Spesies lokal endemik (spesies yang ditemukan hanya di suatu area geografis) dengan distribusi yang sangat terbatas. Ini sangat rentan terhadap gangguan habitat lokal dan perkembangan manusia..
 Spesies dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi terlalu kecil, maka menemukan pasangan atau perkawinan mejadi problem yang serius.
 Spesies migratori. Spesies yang memerlukan habitat yang cocok untuk mencari makan dan beristirahat pada lokasi yang terbentang luas sangat rentan terhadap kehilangan ‘stasiun habitat peristirahatan’ nya.
 Spesies dengan siklus hidup yang sangat kompleks. Bila siklus hidup memerlukan beberapa elemen yang berbeda pada waktu yang sangat spesifik, maka spesies ini rentan bila ada gangguan pada salah satu elemen dalam siklus hidupnya.
 Spesies spesialis dengan persyaratan yang sangat sempit seperti sumber makanan yang spesifik, misal spesies tumbuhan tertentu.


Mengapa mengonservasi biodiversitas?

Alasan ekologi
Spesies secara individu dan ekosistem telah berkembang berjuta-juta tahun ke dalam ketergantungan yang kompleks. In dapat dianalogikan dengan teka-teki silang yang besar yang terdiri dari potongan yang saling mengunci. Bila kita menghilangan sebagian potongan maka rerangka keseluruhannya akan rusak. Semakin besar habitat dan spesies hilang maka semakin besar pula bahaya keruntuhan total akan terjadi. Kehilangan spesies di ekosistem tropis seperti hutan hujan tropris sangat mengawatirkan.

Kerusakan hutan pada laju yang sekarang telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1 oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrem yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi.

Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan melindungi daerah aliran sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan curah hujan dan perubahan pola distribusinya. Ini juga menyebabkan erosi dan banjir. Apa yang disampaikan di atas hanya beberapa dampak ekologis dari deforestasi, yang dampaknya berpengaruh langsung pada manusia.

Alasan ekonomi
Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan konsekuensi ekonomi serius pada wilayah yang terkena. Biaya untuk mengatasinya bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk kesengsaraan manusian yang terkena. Erosi dan penggurunan karena deforestasi menurunkan kemampuan masyarakat setempat untuk menanam tanaman dan memberi makan mereka sendiri.

Ekploitasi sumbedaya hutan yan tidak lestari pada akhirnya juga berakhir dengan kehancuran industri hasil hutan. Bila metode lestari yang dipergunakan, areal yang dipanenan ditanami kembali, maka ini bukan merupakan substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.

Kehilangan biodivesitas secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimian yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting. Di samping itu kerabat liar dari berbagai tanaman pertanian merupakan sumber gen resisten terhadap berbagai penyakit. Bila merekan juga hilang maka tanaman pertanian kita juga rentan terhadap kepunahan.

Alasan etis
Ketika hutan dan habitat lainnya hilang atau terdegradasi, maka demikian juga tradisi dan matapencaharian masyarakat lokal yang didasarkan pada habitat tersebut. Pola hidup dan dalam kasus ekstrem, kehidupan masyarakat, mungkin akan teracam. Di daerah tropis masyarakat yang bergantung pada hutan dengan tradisinya yang tua yang subsisten pada lahan hutan sedang terdesak oleh aktivitas seperti pembalakan, peternakan, pertambangan, perkebunan skala besar dsb. Pertanyaannya adalah apakah menghancurkan pola hidup dan tradisi yang menyebabkan kepunahan masal dapat diterima dalam upaya mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek?

Alasan estetis
Semua orang akan setuju bahwa areal bervegetasi dengan semua kandungan kehidupannya akan lebih menarik daripada yang terbakar, lanskap yang rusak atau bangunan beton yang luas. Kebeadaan manusia terkait dengan dunia alami.


Metode konservasi

Ada dua metode utama untuk mengoservasi biodiversitas, yaitu konservasi in situ (dalam habitat alaminya) dan konservasi ex situ (di luar habitat alaminya).


Strategi dan managemen konservasi

Struktur vasiasi genetik di dalam dan di antara spesies merupakan suatu fitur yang melekat (inherent) dalam evolusi flora dan fauna dan dengan demikian perlu dipertimbangkan dalam strategi konservasi. Variasi genetik juga dipengaruhi baik secara langsung maupun tak langsung oleh banyak aktivitas manusia, dari tak sengaja sampai ke managemen yang intensif.

Bila melakukan konservasi in situ, mungkin perlu untuk menyediakan lahan yang luas untuk mengonservasi lukang gen (gene pool) yang cukup, karena distribusi diversitas pada geografi yang luas dan kompleksitas sistem perkawinan yang berlaku. Hanya menghitung jumlah pohon tidaklah cukup untuk menentukan ukuran populasi efektif dari suatu spesies dan hanya dengan menghitung spesies tidaklah cukup untuk menentukan eksitensi dari sumberdaya genetik spesies tumbuhan dan binatang.

Pengetahuan mengenai persyaratan untuk melestarikan kebanyakan spesies (flora dan fauna) umumnya sangat minim, dan kemampuan untuk mengorganisasi program konservasi juga rendah. Sebagai akibatnya, konservasi sering direduksi menjadi melindungi areal di pusat-pusat diversitas dengan harapan bahwa diversitas genetik dan diferensiasinya juga terkonservasi.

Pada kebanyakan spesies pohon, variasi genetiknya tinggi. Tetapi tidak semua spesies harus dikembangkan untuk pemanfaatanya. Bila tujuannya terbatas, program konservasi yang pasti kemudian dapat ditentukan. Bila spesies digolongkan menurut tujuan program managemen, maka mereka yang nilainya terletak dalam fungsi non-produksi hanya dapat dikelola secara in situ dan direproduki secara alami. Untuk kebanyakan spesies intervensi management tidaklah mungkin, tetapi beberapa bentuk managemen (melalui regulasi penebangan pohon atau pemeliharaan prventif) dapat mempegaruhi ukuran populasi, struktur dan distribusi genotipe, sehingga menjaga variasi genetik yang diperlukan untuk viabilitas populasi dan evolusi dari spesies.

Untuk kebanyakan spesies yang nilainya tidak diketahui, konservasi variasi genetik tergantung kepada perlindungan tegakan in situ. Meskipun beberapa spesies mungkin akhirnya diketemukan memiliki manfaat seperti kayu, obat-obatan, dan produk yang lain, perlindungan sementara akan sebagian besar tergantung kepada kualitas program in situ. Penyimpanan benih mungkin merupakan metode yang layak untuk mengonservasi sampel variasi, dan ini mungkin perlu untuk spesies pada habitat yang rusak.

Pada hewan variasi demografi sangat penting. Ini merupakan variasi yang normal dalam laju kelahiran dan kematian serta nisbah seks (sex ratio) yang disebabkan oleh perbedaan acak antara individu dalam populasi. Ukuran populasi dapat mengalami fluktuasi hanya semata-mata karena perbedaan acak dalam repoduksi dan kemampuan hidup. Fluktuasi yang acak seperti ini dapat terjadi cukup ekstrem sehingga menyebabkan populasi punah. Misalnya, pada populasi yang kecil bila dalam satu generasi individu yang dilahirkan semuanya terdiri dari hanya satu jenis kelamin, maka populasi ini akhirnya akan punah. Variasi lingkungan juga berpengaruh pada kemampuan populasi untuk mereproduksi dan bertahan hidup. Populasi yang peka terhadap variasi lingkungan ukurannya lebih berfluktuasi daripada populasi yang kurang peka, dan bahaya kepunahan meningkat. Bencana alam seperti epidemi penyakit berpengaruh mirip dengan variasi lingkungan.


Konservasi in situ

Konservasi in situ berarti konservasi dari spesies target ‘di tapak (on site)’, dalam ekosistem alami atau aslinya, atau pada tapak yang sebelumnya ditempat oleh ekosistem tersebut. Khusus untuk tumbuhan meskipun berlaku untuk populasi yang dibiakkan secara alami, konservasi in situ mungkin termasuk regenerasi buatan bilamana penanaman dilakukan tanpa seleksi yang disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduktif lainnya dikumpulkan secara acak.

Secara umum, metode konservasi in situ memiliki 3 ciri:
 Fase pertumbuhan dari spesies target dijaga di dalam ekosistem di mana mereka terdapat secara alami;
 Tataguna lahan dari tapak terbatas pada kegiatan yang tidak memberikan dampak merugikan pada tujuan konservasi habitat;
 Regenerasi target spesies terjadi tanpa manipulasi manusia atau intervensi terbatas pada langkah jangka pendek untuk menghindarkan faktor-faktor yang merugikan sebagai akibat dari tataguna lahan dari lahan yang berdekatan atau dari fragmentasi hutan. Contoh dari manipulasi yang mungkin perlu pada ekosistem yang telah berubah adalah regenerasi buatan menggunakan spesies lokal dan pengendalian gulma secara manual atau pembakaran untuk menekan spesies yang berkompetisi.

Persyaratan kunci untuk konservasi in situ dari spesies jarang (rare species) adalah penaksiran dan perancangan ukuran populasi minimum viable (viable population areas) dari target spesies. Untuk menjamin konservasi diversitas genetik yang besar di dalam spesies, beberapa area konservasi mungkin diperlukan, jumlah yang tepat dan ukurannya akan tergantung kepada distribusi diversitas genetik dari spesies yang dikonservasi. Penjagaan dan berfungsinya ekosistem pada konservasi in situ tergantung kepada pemahaman beberapa interaksi ekologi, terutama hubungan simbiotik di antara tumbuhan atau hewan, penyebaran biji, jamur yang berasosiasi dengan akar dan hewan yang hidup di dalam ekosistem.


Ukuran populasi viabel minimum

Konsep ukuran populasi viabel minimum berarti bahwa populasi dalam suatu habitat tidak dapat berlangsung hidup bila jumlah organisme berkurang di bawah ambang batas tertentu. Ini merupakan konsep yang kompleks karena tidak ada ukuran populasi viabel minimun yang diketahui untuk kebanyakan spesies. Suatu populasi untuk suatu ukuran apakah dapat bertahan tergantung pada sejumlah peristiwa random atau tak dapat diprediksi, genetik, dan lingkungan. Tambahan lagi, ukuran populasi bervariasi dengan atribut seperti sejarah hidup, terutama rentang generasi (daur) dan sistem perkawinan dan distribusi spasial dari sumberdaya. Meskipun demikian, ukuran populasi viabel telah ditaksir untuk beberapa kelompok organisme berdasarkan kriteria genetik.

Karakteristik biologi yang penting untuk populasi minimum viabel

Lama generasi: Diversitas genetik hilang dari generasi ke generasi, bukan tahun ke tahun. Spesies dengan generasi yang lebih lama akan lebih kecil kesempatan kehilangan diversitas genetiknya. Dengan demikian ukuran populai minium viabelnya akan lebih kecil.

Jumlah individu awal (founder): Agar efektif populasi awal harus mampu bereproduksi dan terwakili oleh keturunan dari populasi yang ada. Secara teknis, populasi awal seharusnya tidak berkerabat satu sama lain (non-inbred). Pada dasarnya ukuran populasi awal yang lebih besar akan lebih baik, yakni lebih mewakili lukang gen yang dikonservasi.

Ukuran populasi efektif: Ne (populasi efektif) merupakan ukuran bagaimana anggota populasi bereproduksi dengan yang lain untuk meneruskan gen ke generasi berikutnya. Ne tidak sama dengan N (jumlah sensus); Ne biasanya lebih kecil daripada N.

Laju pertumbuhan: Pertumbuhan yang lebih tinggi maka semakin cepat populasi dapat pulih dari efek populasi kecil dan mengurangi dari resiko demografi dan keterbatasan diversitas genetik.

Secara genetik ada tiga pendekatan umum untuk menaksir ukuran populasi minimum viabel. Salah satu pendekatan adalan menaksir populasi efektif berdasarkan kemampuan bertahan dari kehilangan variabilitas genetik karena ukuran populasi yang kecil. Untuk populasi hewan, kehilangan variabilitas genetik karena kawin kerabat (inbreeding) dapat dihindarkan jika laju atau koefisien inbreeding per generasi (F) dapat dijaga di bawah 2 %. Bila F diketahui, maka ukuran populasi efektif (Ne) dapat dihitung dengan rumus sbb:

1
F =
2Ne

Dengan demikian ukuran populasi efektif sebesar 25 akan cukup bila inbreeding 2 % per generasi dapat diterima. Seandainya diambil angka laju inbreeding sebesar 1 % sebagai taksiran konservatif yang dapat diterima pada hewan, maka ukuran populasi minimum menjadi 50. Ukuran populasi efektif ini umumnya cukup untuk periode pendek (beberapa generasi), sesudah itu populasi kaptif dapat dilepaskan di alam dan variasi mungkin meningkat. Tetapi, penerapan pendekatan ini dan ukuran populasi efektif yang tertaksir untuk spesies pohon hutan masih dipertanyakan. Pendekatan matematis seperti ini menyederhanakan realitas biologi yang kompleks. Meskipun ukuran populasi besarnya sama seperti yang diperoleh dari pendekatan model ekologi, pengaruh acak demografi pada ukuran total yang diperlukan akan lebih besar karena faktor-faktor independen dan kehilangan secara random di dalam populasi.


Pendekatan kedua adalah menaksir ukuran populasi efektif berdasarkan jumlah yang diperlukan untuk mempertahankan potensi evolusi dari populasi.

Pada organisme diploid, bila dua alel pada suatu lokus berasal dari gen yang sama, maka ini disebut identik. Individu menjadi homosigos pada lokus tersebut, misal AA. Tetapi homosigos mungkin juga terjadi bila masing-masing dari dua alel tersebut tidak berasal dari gen yang sama. Misalnya, suatu perkawinan antara sepupu mungkin menghasilkan homosigos yang mengandung gen yang asalnya identik, dan pada saat yang sama, juga menghasilkan individu homosigos untuk gen dari asalnya berbeda. Dua gen yang terakhir ini dikatakan mirip tetapi tidak identik. Dalam inbreeding, kepedulian kita adalah pada gen identik, dan probabilitas bahwa dua gen dalam suatu zigot adalah identik merupakan koefisien inbreeding (F).

Kita akan lebih mudah mengukur koefisien inbreeding bila tingkat perkawinan antara kerabat diketahui. Bila tidak diketahui, maka ini dapat ditaksir berdasarkan ukuran populasi. Misalnya, andaikan suatu populasi dengan 50 individu diploid, yang sama sekali tidak ada yang memiliki alel yang sama pada lokus tertentu; jadi ada 100 alel dalam populasi ini: A1, A2, A3… A100. Andaikan pula bahwa gamet dari setiap individu merupakan tipe jantan dan betina dan menyatu satu sama lain selama perkawinan. Bila kita membatasi perhatian kita pada lokus tersebut, yaitu A, maka ada 100 macam gamet, masing-masing berbeda satu sama lainnya tetapi identik dengan gametnya sendiri. Dengan kata lain, 1/100 dari gamet identik dan probabilitas untuk mengambil suatu gamet yang identik dengan yang telah dipilih adalah 1/100, atau 1/(2N), di mana N merupakan jumlah individu diploid. Menurut definisi di atas, besaran inimerupakan koefisien inbreeding untuk satu generasi penyatuan di antara gamet dalam populasi dengan ukuran N.

Pada generasi berikutnya akan terdapat lagi 2N gamet yang berbeda yang dihasilkan oleh tetua baru, dan probabilitas dari inbreeding adalah juga 1/2N. Di samping gamet yang dihasilkan oleh individu heterosigos, beberpa gamet akan berasal dari individu homosigos identik. Proporsi tambahan dari gamet identik ini akan meningkatkan kemungkinan terbentuknya homosigos identik. Secara matematik, bila probabilitas dari homosigos identik yang baru sebesar 1/(2N) untuk sebarang generasi, maka probabilitas dari zigot yang tersisa sebesar 1-(2N), akan memiliki gen identik dan ini merupakan koefisien inbreeding dari generasi sebelumnya. Jadi koefisien inbreeding (F) dari generasi 2 adalah F2 = (1/2N) + [1-(1/2N)]F1, di mana F1 adalah koefisien inbreeding dari generasi 1. Perhitungan koefisien inbreeding untuk generasi selanjutnya mengikuti pola yang sama.

F0 = 0
F1 = 1/(2N)
F2 = 1/(2N) + (1 - 1/(2N))F1
F3 = 1/(2N) + (1 - 1/(2N))F2
Fn = 1/(2N) + (1 – 1/(2N))Fn-1

A1A1 aa



aa A1a A1a A2a


A1a A1A2


A1A1 A1A2 A1a
Identik mirip berbeda
Telah ditaksir bahwa bila Ne sebesar 500 individu, suatu populasi panmiktik (panmictic population), yaitu perkawinan terjadi sepenuhnya random, maka kecil kemungkinannya untuk kehilangan variasi genetik karena damparan genetik (genetic drift) dan dapat mempertahankan variasi yang cukup untuk merespons tekanan seleksi yang berubah. Dengan anggapan bahwa nisbah antara jumlah sensus (N) dan ukuran populasi efektif (Ne) sebesar 3 atau 4, maka ukuran populasi minimum menjadi 1.500 atau 2.000 individu. N dan Ne tersebut keduanya untuk spesies berkawin silang (outbreeding) dan berumah satu. Perlu diketahui bahwa Ne biasanya lebih kecil daripada N.

Pendekatan ketiga didasarkan pada perhitungan ukuran populasi yang akan meminimumkan kehilangan alel dengan frekuensi kecil. Para pakar telah menaksir bahwa dalam spesies yang diketahui laju inbreedingnya serta struktur populasinya, ukuran sampel sebesar 1.000 individu akan memberikan probabilitas kehilangan suatu alel dengan frekuensi 1 % pada suatu lokus akan di bawah 1%. Bila jumlah lokus dengan alel langka (rare allele) meningkat maka jumlah individu yang diperlukan untuk meminimumkan kehilangan alel tersebut akan meningkat pula.

Ukuran yang disebutkan di atas didasarkan pada ukuran populasi minimum yang diperlukan untuk fleksibilitas evolusi dan kelangsungan hidup. Tetapi, ukuran populasi minimum merupakan konsep probabilitik dan bukan jumlah yang tetap dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor bilogi, lingkungan dan genetik. Probabilitas kepunahan suatu populasi tegantung tidak hanya pada sejarah evolusi spesies yang lampau dab strutur genetik yang sekarang, tetapi juga pada demografi dan keacakan lingkungan. Dengan demikian, ukuran populasi minimum akan berbeda di antara spesies dan di antara habitat untuk spesies yang sama.

Jumlah ‘kawasan perlindungan’ dan strategi sampling

Meskipun banyak literatur yang mengulas mengenai konservvasi populasi tertentu, konservasi in situ pada kenyataannya mempreservasi seluruh komunitas. Jumlah populasi dan spesies yang memerlukan perlindungan di alam sedemikian besar sehingga tidak praktis untuk merancang program konservasi in situ berdasarkan pada spesies secara individu dan populasinya.

Di area di mana beberapa spesies dikonservasi secara berbarengan dalam suatu kawasan perlindungan (reserve), timbul masalah untuk menjamin bahwa jumlah dan distribusi populasi yang mengandung spesies ini mencukupi untuk menjaga diversitas genetik pada reserve tungal maupun ganda. Tanpa adanya informasi mengenai distribusi variasi genetik, maka akan sulit untuk memperkirakan jumlah dan distribusi populasi pada satu reserve atau lebih yang mungkin diperlukan untuk menjaga variabilitas genetik. Informasi mengenai tingkat migrasi spesies juga masih sedikit. Beberapa spesies tingkat migrasi mungkin mendekatai nol, sedangkan yang lain mungkin besar. Kemampun kawasan perlindungan utnk menjaga dinamika evolusi di dalamnya memiliki dampak yang signifikan pada migrasi.

Oleh karena pohon hutan umumnya memperlihatkan variasi antara populasi, beberapa reserve kecil tersebar pada area geogarfis yang luas mungkin dapat mengonsevasi diversitas genetik total lebih efektif daripada kawasan perlindungan tunggal berukuran besar. Secara teori, dan demi kemudahan pelaksanannya, viabilitas populasi tunggal dapat dipertahankan dengan ukuran populasi efektif sebesar 50 sampai 100 individu reproduktif, dan bila mungkin mengandung beberapa ribu pada paling tidak 50 kawasan perlindungan.

Untuk kebanyakan spesies pohon hutan areal dengan 50 sampai 100 individu mungkin terlalu kecil untuk menjaga integritas interaksi mutualistik dan menghindarkan ketidak stabilan karena peristiwa random. Populasi yang lebih besar diperlukan dan dipertahankan atau metode harus dikembangkan untuk meningkatkan migrasi benih dan tepungsari, seperti penanaman atau membuat koridor untuk penyebaran benih dan tepungsari. Dengan demikian, sistem reserve yang dipandang cukup untuk suatu spesies mungin kurang bagi yang lain.

Untuk menentukan kecukupan dari sistem kawasan perlindungan, strategi inventarisasi dapat dipergunakan. Jumlah kelompok spesies tertentu, tipe penutupan, atau spesies kunci dapat diinventarisasi dan dipetakan dan area yang diperlukan untuk kecukupan sampling alel kemudian dapat ditentukan.



Spesies pohon tropis mungkin memerlukan reserve yang lebih besar

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa spesies pohon tropis, termasuk spesies hutan hujan tropis, berkawin silang. Tetapi kerapatan populasi dari pohon yang berukuran besar, yang merupakan sumberdaya genetik yang penting, umumnya sangat rendah (1 sampai beberapa pohon per ha). Seadainya spesies ini terdistribusi merata (banyak yang tidak), area seluas 20 km2 akan diperlukan untuk mencakup 2.000 individu. Untuk spesies yang paling jarang di Asia Tenggara Asthon (1981) menaksir kebutuhan area seluas 200 km2 untuk mencakup 200 individu.

Banyak area untuk konservasi biodiversitas memiliki luas di bawah ukuran minimum yang ditaksir di atas untuk satu spesies pada area yang bersambungan. Kebanyakan spesies tidak terdistribusi merata, dan variasi temporal dalam area reserve mungki juga ada. Dengan demikian, sangat logis untuk mempertimbangkan area minimum yang diperlukan untuk menjada populasi yang viabel dalam satu atau beberapa reserve. Tambahan lagi, spesies jarang mungkin kenyataannya tidak jarang di tempat lain. Reserve ganda mungkin mengonservasi lebih banyak spesies jarang daripada reserve tunggal. Meskipun demikian ukuran reserve harus sangat luas untuk beberapa spesies.






Konservasi ex situ

Konservasi ex situ merupakan metode konservasi yang mengonservasi spesies di luar distribusi alami dari populasi tetuanya. Konservasi ini merupakan proses melindungi spesies tumbuhan dan hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan manusia.

Kebun botani (raya), arboretum, kebun binatang dan aquarium merupakan metode konservasi ex situ konvensional; Fasilitas ini menyediakan bukan hanya tempat terlindung dari spesimen spesies langka tetapi juga memiliki nilai pendidikan. Fasilitas ini memberikan informasi bagi masyarakat mengenai status ancaman pada spesies langka dan faktor-faktor yang menimbulkan ancaman dan membahaykan kehidupan spesies.

Untuk tumbuhan metode konservasi ini mungkin menggunakan material reproduktif dari individu atau tegakan yang terletak di luar tapak populasi tetuanya. Metode dan material ex situ mencakup bank gen untuk benih atau tepungsari, bank klon, arboretum, populasi pemuliaan.

Penyimpanan benih, metode konservasi ex situ yang lain, merupakan penyimpanan benih pada lingkungan yang terkendali. Dengan pengendalian temperatur dan kondisi kelembaban, benih beberapa spesies yang disimpan akan tetap viabel (mampu hidup) untuk beberapa dekade. Teknik ini merupakan konservasi yang utama pada tanaman pertanian dan mulai dipergunakan untuk spesies pohon hutan.

Bank gen, bank klon, arboretum merupaka bentuk konservasi statis, yaitu konservasi yang menghidarkan sejauh mungkin perubahan genetik. Konservasi statik memiliki ciri:
 Genotipe merupakan target untuk konservasi,
 Efek seleksi alam dan proses genetik sangat terbatas dan
 Intervensi manusia diperlukan untuk menghidarkan proses genetik berlangsung selama konservasi.

Kultur jaringan juga memiliki potensi untuk dipergunakan sebagai metode konservasi yang baik. Teknik-teknik ini meliputi perbanyakan mikro (meristem, embrio sdb.). Ini merupakan teknik yang mahal, tetapi bila penyimpanan kriogentik (cryogenic storage) dikembangkan , maka teknik ini merupakan modetode konservasi yang terjamin. Penyimpanan kriogenik merupakan preservai bahan biologis dalam cairan nitrogen pada suhu 150oC – 196oC.

Hewan langka juga dapat dikonservasi melalui bankgen, dengan kriogenik untuk menyimpan sperma, telur atau embrio.

Bentuk yang paling umum untuk konservasi ex situ untuk pohon adalah tegakan hidup. Tegakan seperti ini sering kali bermula dari koleksi sumber benih dan dipelihara untuk pengamatan. Ukuran tegakan mungkin berkisar dari spesimen dalam kebun botani (raya) dan arboretum, sampai dengan beberapa pohon ornamental pada plot-plot kecil, atau plot-plot yang lebih besar untuk pohon.

Tegakan hidup yang cukup luas untuk tujuan konservasi misalnya apa yang dinamakan tegakan konservasi. Ini merupakan konservasi yang bersifat evolusinari dan berlawanan dengan konservasi statik dalam arti memiliki tujuan mendukung perubahan genetik sejauh hal ini berkontribusi pada adaptasi yan berkelanjutan. Konservasi evolusinari ini memiliki ciri:
 Pohon-pohon bereproduksi melalui benih dari satu generasi ke generasi berikutnya; gen akan terkonservasi tetapi genotipe tidak, karena rekombinasi gen akan terjadi pada setiap generasi.
 Invtervensi manusi bila ada, dirancang untuk memfasilitasi proses genetik yang moderat daripada menghindarkannya.
 Variasi genetik di antara populasi dari lingkungan yang berbeda secara umum dipertahankan.


Ada beberapa kelemahan konservasi ex situ. Konservasi ex situ ini sesungguhnya sangat bermanfaat unutk melindungi biodiversitas, tetapi jauh dari cukup untuk menyelamatkan spesies dari kepunahan. Metode ini dipengunakan sebagai cara terakhir atau sebabi suplemen terhadap konservasi ini situ karena tidak dapat menciptakan kembali habitat secara keselkuruhan: seluruh varisi genetik dari suatu spesies, pasangan simbiotiknya, atau elemen-elemennya, yang dalam jangka panjang, mungkin membantu suatu spesies beradaptasi pada lingkungan yang berubah. Sebalinya, konservasi ex situ menghilangkan spesies dari konteks ekologi alaminya, melindunginya di bawah kondisi semi-terisolasi di mana evolusi alami dan proses adaptasi dihentikan sementara atau dirubah dengan mengintroduksi spesimen pada habitat yang tidak alami. Dalam hal metode penyimpanan kriogenik, proses-proses adaptasi spesimen yang dipreservasi membeku keseluruhannya. Kelemahannya adalah bila spesimen ini dilepaskan ke alam, spesies mungkin kekurangan adaptasi genetik dan mutasi yang akan memungkinkannya untuk bertahan dalam habitat alami yang selalu berubah.

Di samping itu, teknik-teknik konservasi ex situ seringkali mahal, dengan penyimpanan kriogenik yang secara ekonomis tidak layak pada kebanyakan spesies. Bank benih tidak efektif untuk tumbuhan tertentu yang memiliki benih rekalsitran yang tidak tetap viabel dalam jangkan lama. Hama dan penyakit tertentu di mana spesies yang dikonservasi tidak memiliki daya tahan terhadapnya mungkin juga dapat merusakannya pada pertanaman ex situ dan hewan hidup dalam penangkaran ex situ. Faktor-faktor ini dikombinasikan dengan lingkingan yang spesifik yang diperlukan oleh banyak spesies, beberapa di antaranya tidak mungkin diciptakan kembali, membuat konservasi ex situ tidak mungkin dilakukan untuk banyak flora dan fauna langka di dunia.

Tetapi, bila suatu spesies benar-benar akan punah, konservasi ex situ menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa. Lebih baik mepreservasi suatu spesies daripada membiarkan punah seluruhnya.

TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

Oleh:

Ardi Yusuf 0813024017
Dwi Okvianita 0813024024
Eko Budiyono 0813024027
Harry Haryono 0813024032
Tri Suwandi 0813024012




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, keridhoan dan tuntunan-Nyalah paper dengan judul “Taman Nasional Bukit Barisan Selatan” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Paper ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Keanekaragaman Hayati yang dibimbing oleh Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si.

Pada kesempatan ini, kami mengucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si yang telah mendidik dan membimbing kami, kepada kedua orang tua kami yang selalu memotivasi dan mendoakan kami tanpa henti, rekan – rekan satu kelompok kami atas kerja sama dan solidaritas kita, teman – teman sejawat yang tanpa lelah membantu kami, pihak – pihak lain yang tidak dapat disebutkan.

Kami menyadari paper ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna tercapainya hasil yang lebih optimal.


Bandar Lampung, 14 November 2009

Penyusun


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2

BAB II ISI
2.1 Keadaan Kawasan 3
2.2 TNBBS, Bentang Alam yang Penuh Potensi 8
2.3 Pentingnya Kegiatan penyuluhan di TNBBS 13
2.4 Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di TNBBS 17
2.5 Pencurian hasil Hutan di TNBBS 19
2.6 Pengaruh Pembangunan Jalan di TNBBS 19

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 21
3.2 Saran 21

DAFTAR PUSTAKA


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Upaya pelestarian sumber daya alam merupakan pengelolaaan untuk mendapatkan keanekaragaman gen yang sebanyak-banyaknya. Adapun usaha tersebut antara lain perlindungan kawasan tertentu yang meliputi cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung, hutan wisata, taman nasional, taman nasional, taman laut, dan taman wisata. Usaha pelestarian sumber daya alam hayati yang lain adalah dengan kebun tumbuhan (botani) dan penyimpanan biji atau jaringan khusus tumbuhan dengan teknik tertentu. Selain pelestarian sumber daya alam hayati, ada juga usaha perlindungan sumber daya alam. Salah satunya adalah perlindungan alam dengan taman nasional. Taman nasional yang akan dibahas adalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Kawasan Bukit Barisan Selatan ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 seluas 356.800 Ha. Wilayah dan batas kawasan TNBBS tidak pernah berubah sejak ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Margasatwa melalui Besluit Ban der Gauvemeur General van Nederlandsch Indie No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I (SS I). berdasarkan SK Menhut No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Fepbruari 1990 ditetapkan pula Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ±21.600 Ha yang terintegrasi dalam pengelolaan TNBBS Juli 2004 beserta 2 Taman Nasional lain (TN Gunung Leuser dan TN Kerinci Seblat) ditetapkan sebagai Cluster Natural World Heritage Site dengan nama The Tropical Rainforest Heritage of Sumatera. Juli 2007 menjadi TN Model melalui SK Dirjen PHKA No. 69/IV-Set/HO/2006 dan menjadi Balai Besar TN berdasarkan Permenhut No. P03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007

Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dimuat dalam paper ini adalah sebagi berikut.
1. Bagaimana keadaan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?
2. Apa saja potensi yang dimiliki oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?
3. Apa pentingnya kegiatan penyuluhan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?
4. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?

Tujuan

Tujuan paper ini adalah sebagi berikut.
1. Mengetahui keadaan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?
2. Mendeskripsikan potensi yang dimiliki oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?
3. Mempresentasikan pentingnya kegiatan penyuluhan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?
4. Mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan?


II. ISI


2.1 Keadaan Kawasan
Status
Kawasan Bukit Barisan Selatan ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 seluas 356.800 Ha. Wilayah dan batas kawasan TNBBS tidak pernah berubah sejak ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Margasatwa melalui Besluit Ban der Gauvemeur General van Nederlandsch Indie No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I (SS I). berdasarkan SK Menhut No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Fepbruari 1990 ditetapkan pula Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ±21.600 Ha yang terintegrasi dalam pengelolaan TNBBS Juli 2004 beserta 2 Taman Nasional lain (TN Gunung Leuser dan TN Kerinci Seblat) ditetapkan sebagai Cluster Natural World Heritage Site dengan nama The Tropical Rainforest Heritage of Sumatera. Juli 2007 menjadi TN Model melalui SK Dirjen PHKA No. 69/IV-Set/HO/2006 dan menjadi Balai Besar TN berdasarkan Permenhut No. P03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007.
Arti Penting
1. Kawasan Penyangga sistem kehidupan
2. Kawasan pengawetan hidupan liar dan ekosistem
3. Kawasan pemanfaatan secara lestari dan berkesinambungan
Keadaan Fisik

1. Letak
Secara geofrafis TNBBS terletak pada 4°29’ – 5o57’ LS dan 103o24’ – 104o44’ BT, meliputi areal seluas ±356.800 Ha. Menurut administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus seluas ±10.500 Ha, Kabupaten Lampung Barat seluas±280.300 Ha dan Kabupaten Kaur seluas ±66.000 Ha.

2. Iklim
Kawasan TNBBS dikelompokkan menjadi dua zona iklim (Oldeman, et al, 1979). Bagian Barat Taman Nasional mempunyai curah hujan antara 3000-3500 per tahun dan bagian Timur Taman Nasional antara 2500-3000 mm per tahun.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, bagian barat Kawasan TNBBS termasuk tipe iklim A (basah) dengan lebih dari 9 (sembilan) bulan basah per tahun dan di bagian timur termasuk tipe iklim B yang lebih kering dari tipe A dan mempunyai 7 (tujuh) bulan basah per tahun. Musim hujan berlangsung dari Bulan November sampai Mei. Musim kemarau dari Bulan Juni sampai Agustus. Curah hujan rata-rata per tahun 2.500-3.000 mm per tahun di bagian barat dan 3.000-4.000 mm per tahun di bagian timur, dengan suhu berkisar 20o-28oC.

3. Geologi
Menurut Peta Geologi Sumatera yang disusun oleh Lembaga penelitian Tanah (1965), kawasan TNBBS terdiri dari Batuan Endapan, Batuan Vulkanik dan Batuan Plutonik dengan sebaran paling luas adalah Batuan Vulkanik yang dijumpai di bagian tengah dan utara Taman Nasional.

4. Tanah
Sebagian besar tanah di kawasan TNBBS adalah jenis Podsolik Merah Kuning yang labil dan rawan erosi.

5. Topografi
Topografi kawasan TNBBS bervariasi antara 0-600 mdpl di daerah pantai dan lebih dari 1.000 mdpl di daerah berbukit yang terdapat di bagian selatan kawasan, rangkaian pegunungan Bukit Barisan Selatan di bagian tengah dan bagian utara dengan ketinggian antara 1.000 – 2.000 mdpl. Kondisi lapangan di bagian timur kawasan TNBBS mempunyai kemiringan sedang (20-40%). Kemiringan yang terjal (>80%) terdapat di bagian utara kawasan, sedangakan bagian barat dan selatan relatif datar (3-5%).

6. Hidrologi
Kawasan TNBBS merupakan daerah tangkapan air dan pelindung sistem tata air di dua propinsi. Sungai-sungai utama yang mengalir di bagian Utara adalah Nasal Kiri, Nasal Kanan, Menula, Simpang dan Laai; Tenumbang, Biha, Marang, Ngambur Bunuk, Tembuli, Ngaras, Pintau, Pemerihan, Semong dan Semangka mengalir di bagian tengah dan di bagian Selatan mengalir Canguk, Sanga, Menanga Kiri, Menanga Kanan, Paya, Kejadian, Sulaiman dan Blambangan.

Karakteristik lain dari hidrologi TNBBS adalah keberadaan danau Mnjukut, Asam, Lebar, Minyak dan Belibis. Sementara bagian tenggara, selatan dan barat Taman Nasional dikelilingi oleh Teluk Semangka, Tanjung Cina dan Samudera Indonesia.

7. Aksesibilitas
Aksesibilitas memasuki kawasan TNBBS dapat dilihat pada table berikut :
Rute Transportasi Waktu tempuh
(jam) Jarak
(km)
Bandar Lampung – Kotaagung – Sanggi – Bengkunat – Krui – Punggung Tampak – Menula – Merpas – Bintuhan – Muara Saung – Ulak Bandung Kendaraan Roda Empat (4) ± 9 ± 406
Bandar Lampung – Kota Bumi – Bukit Kemuning – Liwa – Krui Kendaraan Roda
Empat (4) ± 7 ± 278
Bengkulu – Mana’ – Bintuhan – Merpas Kendaraan Roda empat (4) ± 3 ± 180
Kotaagung - Banding - Suoh – Sukabumi – Liwa Simpang Sender – Ranau – Banding Agung – Pulau Beringin – Ujan Mas Kendaraan Roda Empat (4) ± 8 ± 270
Kota Agung – Tampang Kapal Motor ± 4 -
Bandara Branti (Propinsi Lampung) – Belimbing Peasawat Udara ± 0.5 -


Jalan tembus yang memotong kawasan TNBBS :
No Rute Jarak (km)
1 Sanggi – Bengkunat ± 12
2 Liwa – Krui ± 15
3 Pugung Tampak – Menula ± 14
4 Suoh – Sukabumi ± 8

Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 57/Kpts/DJ-VI/1990 tanggal 31 Mei 1990, mintakat kawasan TNBBS terdiri dari:
1. Mintakat Inti seluas ± 191.125 hektar;
2. Mintakat Rimba selua ± 160.012,5 hektar;
3. Mintakat Pemanfaatan seluas ± 850 hektar;
4. Mintakat Penyangga seluas ± 4.812,5 hektar.
Berdasarkan perkembangan kondisi kawasan TNBBS, diusulkan revisi zonasi kawasan dengan usulan :
1. Zona Inti seluas ± 226.848 hektar;
2. Zona Rimba seluas ± 100.905 hektar;
3. Zona Pemanfaatan Intensif seluas ± 3.220 hektar;
4. Zona Pemanfaatan Khusus seluas ± 89 hektar;
5. Zona Pemanfaatan Tradisional seluas ± 638 hektar;
6. Zona Rehabilitasi seluas ± 25.000 hektar; dan
7. Zona Situs Budaya dan Sejarah seluas ± 100 hektar.
SK. Kepala Balai TNBBS
Nomor : SK. 09/IV-T.8/2005
Tanggal : 22 Agustus 2005


2.2 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Bentang Alam Yang Penuh Potensi

Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang membentang dari ujung selatan bagian barat Propinsi Lampung sampai bagian selatan Propinsi Bengkulu secara geografis berada pada 4º29' - 5º57' LS dan 103º24' - 104º44' BT. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS berada di 2 (dua) propinsi yaitu Propinsi Lampung dan Propinsi Bengkulu. Di Propinsi Lampung seluas 290.800 Ha yang meliputi Kabupaten Tanggamus seluas 10.500 Ha dan Kabupaten Lampung Barat seluas 280.300 Ha, sedangkan di Propinsi Bengkulu meliputi Kabupaten Kaur seluas 66.000 Ha.

Keanekaragaman Hayati
Kawasan ini memiliki keanekaragaman jenis hayati (biodiversity) yang sangat tinggi baik flora maupun fauna. Potensi flora TNBBS meliputi 514 jenis pohon dan tumbuhan bawah, 26 jenis rotan, 15 jenis bambu serta 126 jenis anggrek termasuk 2 jenis tumbuhan langka yaitu bunga bangkai (Amorphophallus sp) serta bunga rafflesia (Rafflesia sp).
Berdasarkan hasil identifikasi, sebanyak 137 jenis tumbuhan di TNBBS dapat digunakan sebagai tanaman obat. Sementara itu, Fauna yang telah teridentifikasi adalah 115 jenis mamalia, 7 jenis primata, 450 jenis burung, 9 jenis burung rangkong, 123 jenis herpetofauna (reptil dan amphibi), 221 jenis insekta/serangga, 7 jenis moluska, 2 jenis krustasea serta 53 jenis ikan.

Obyek Wisata Alam


Selain kekayaan flora dan fauna kawasan ini juga kawasan ini juga memiliki keindahan alam yang sangat menarik, seperti :
Sukaraja Atas, habitat bunga raflesia (Rafflesia sp), bunga bangkai raksasa (Amorphophallus sp), satwa lair primata dan burung.
Keramat Menula, Potensi wisata yang ada meliputi hutan hujan dataran rendah primer, pantai karang, makam keramat Syech Aminullah, satwa liar primata dan berbagai jenis burung.
Suoh, Potensi wisata yang ada meliputi Danau Asam, Danau Belibis, Danau Lebar, sumber panas bumi, kawah gunung api lama, burung air.



Tampang Belimbing, Potensi wisata yang ada meliputi kkosistem hutan pantai dan hutan hujan dataran rendah, Danau Menjukut, Way Blambangan, pantai pasir, pantai karang, Teluk Belimbing, mercu suar, sawung bajo, savana Kobokan Bandeng, Way Sleman, rusa (Cervus sp) dan kerbau liar. Saat ini dikembangkan sebagai areal IPPA oleh PT Adhiniaga Kreasinusa (100 Ha).
Kubuperahu, Potensi wisata yang ada meliputi Air terjun Sepapa Kanan (20 m) dan Sepapa Kiri (60 m), ekosistem hutan hujan pegunungan primer, anggrek alam, Sungsi Sindalapai, satwa liar primata dan burung.
Muara Canguk – Pemerihan, Potensi wisata yang ada meliputi hutan pantai dan hutan hujan dataran rendah, pantai pasir, pantai karang, Sungai Pemerihan, Sungsi Canguk, satwa liar, burung. Terdapat stasiun penelitian nasional dan internasional yang dikelola oleh TNBBS dengan mitra WCS-IP.

Potensi Sumber Daya Air
Selain itu kawasan TNBBS merupakan hulu dari 181 sungai yang mengalir di 4 (empat) kabupaten yakni Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus (Provinsi Lampung), Kabupaten Kaur (Provinsi Bengkulu), dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Provinsi Sumatera Selatan). Merupakan DAS Semaka, Pesisir Barat dan Sekampung.
Pasokan air dari sungai yang berhulu di kawasan TNBBS berperan sangat penting dalam mendukung roda perekonomian masyarakat, terutama di bidang pertanian, perikanan dan energi (mikrohidro). Masyarakat sekitar kawasan TNBBS mengandalkan pasokan air dari TNBBS sebagai pembangkit listrik tenaga air skala kecil (mikrohidro) terutama bagi masyarakat yang tidak mendapat pasokan listrik dari PLN. Tercatat sedikitnya terdapat 215 mikrohidro dengan kapasitas listrik total yang dihasilkan 860.000 – 1.000.000 Watt atau setara dengan Rp. 559 juta – Rp. 650 juta/tahun.
Menurut BPS Lampung Barat, Tanggamus dan Kaur, sumber air yang berasal dari TNBBS mengaliri sawah seluas ± 81.000 Ha dengan produksi padi ± 383.623 ton/tahun setara dengan Rp 767,246 milyar/th (asumsi 1 kg gabah Rp. 2.000,-).
Produksi perikanan darat yang dipengaruhi oleh pasokan air dari kawasan TNBBS di Lampung Barat (± 639 ton/thn), Tanggamus (4.990 ton/thn) dan Kaur (351 ton/thn). Secara keseluruhan jika dirupiahkan setara dengan Rp 71,760 milyar.

Potensi Karbon
Kawasan TNBBS sebagai salah satu kawasan konservasi dengan luas 356.800 ha dan berbagai tipe penutupan lahan mampu menyerap dan menyimpan cadangan karbon sebesar 67.409.059 ton. Kerusakan kawasan hutan TNBBS tentu akan sangat berpengaruh terhadap penutupan lahan dan akan berimplikasi negatif terhadap daya serap karbon yang berdampak pada perubahan iklim mikro di sekitar TNBBS.

Potensi Geologi/Sumber Panas Bumi
Kawasan TNBBS memiliki sumber panas bumi yang cukup potensial untuk dimanfaatkan yang terletak di daerah Suoh dan sekitar Kayu Are, daerah Sekincau. Panas bumi Sekincau – Suoh merupakan juga sebagai obyek wisata alam yang dapat dikembangkan sebagai cadangan alternatif energi Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak dengan total cadangan 430 MW.
Merujuk kepada begitu banyaknya manfaat dan potensi strategis yang dimiliki TNBBS bagi perikehidupan berkelanjutan, sehingga dalam pertemuan World Heritage Committee ke-28 di Suzhou, China, yang berlangsung pada tanggal 28 Juni 2004 sampai dengan 7 Juli 2004, TN. Gunung Leuser, TN. Kerinci Seblat dan TN. Bukit Barisan Selatan resmi ditetapkan sebagai Cluster World Natural Heritage of Sumatera.

2.3 Pentingnya Kegiatan Penyuluhan Di TNBBS

Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) membentang melalui tiga wilayah kabupaten dan dua wilayah propinsi yaitu Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Barat (Propinsi Lampung), serta Kabupaten Kaur (Propinsi Bengkulu). Kawasan TNBBS di Propinsi Lampung seluas 290.800 ha yang meliputi Kabupaten Tanggamus seluas 10.500 ha dan Kabupaten Lampung Barat seluas 280.300 ha, sedangkan di Propinsi Bengkulu meliputi Kabupaten Kaur seluas 66.000 ha. Sebagai kawasan konsevasi dengan luasan kawasan 356.800 ha yang secara geografis terletak pada 4º29' - 5º57' LS dan 103º24' - 104º44' BT, kawasan TNBBS merupakan habitat bagi satwa dan tumbuhan baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi, memiliki fungsi hidrologis serta sosial ekonomi.
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan mempunyai kelimpahan kekayaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang keberadaannya perlu dilestarikan agar tetap memenuhi fungsinya sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penunjang budidaya, rekreasi dan wisata alam.
Disekitar kawasan TNBBS terdapat masyarakat dan beberapa merupakan enclave. Jumlah desa di sekitar kawasan TNBBS yaitu 124 desa yang tersebar pada 21 kecamatan di Kab. Tanggamus, Kab. Lam-Bar (Prop. Lampung), dan Kab. Kaur (Prop. Bengkulu). Masyarakat tersebut sebagaian besar memiliki ketergantungan terhadap keberadaan kawasan hutan. Dalam sambutannya saat meresmikan Gedung Kantor Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan bersama Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ir. Darori, MM), tangal 11 Desember 2008, Bupati Tanggamus (Bpk. Bambang Kurniawan, ST) mengatakan bahwa “Masyarakat Tanggamus sangat memerlukan kelestarian kawasan TNBBS. Mengapa demikian?
1. Kawasan TNBBS merupakan hulu dari 181 sungai yang mengalir di 4 (empat) kabupaten yakni Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus (Provinsi Lampung), Kabupaten Kaur (Provinsi Bengkulu), dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Provinsi Sumatera Selatan). Merupakan DAS Semaka, Pesisir Barat dan Sekampung.
2. Dengan adanya hutan, air sungai di Kabupaten Tanggamus terus mengalir sehingga petani dapat mengairi sawah dan ladangnya,
3. Dengan adanya hutan, Kabupaten Tanggamus memiliki curah hujan tinggi sepanjang tahun, sehingga tidak mengalami kekeringan dan panas.
Tapi apa yang terjadi karena hutan ini ada yang rusak ?
1. Sebagian masyarakat kebanjiran, dan lebih mengkhawatirkan lagi apabila awan hitam berasal dari Kabupaten Lampung Barat yang memungkinkan menyebabkan banjir bandang,
2. Gajah keluar dari hutan dan masuk ke perkampungan penduduk.
Oleh karena itu, kepada masyarakat, pengelola Taman Nasional dan berbagai pihak yang hadir disini, mari kita jaga bersama-sama hutan kita”. Dalam sambutan tersebut, dihadapan Bapak Ir. Darori, MM (Direktur Jenderal PHKA) dan segenap jajaran Muspida Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Barat, Bapak Bupati Tanggamus meminta dengan ditingkatkannya Balai TNBBS menjadi Balai Besar TNBBS dan dibangunnya gedung baru, pengelolaan TNBBS lebih optimal, merehabilitasi kawasan hutan yang rusak, dan juga memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Adanya masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan yang bergantung pada kawasan hutan TNBBS apabila dikelola secara tepat akan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam rangka pengamanan kawasan hutan. Namun di sisi lain jika kita melakukan pendekatan yang kurang tepat, bukan tidak mungkin keberadaan mereka bisa menjadi ancaman bagi keutuhan kawasan TNBBS. Dengan kata lain, keberadaan masyarakat di dalam atau di sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan dalam dua kategori ketergantungan, yaitu ketergantungan yang bersifat positif dan ketergantungan yang bersifat negatif.
Dikatakan ketergantungan positif, dimana masyarakat melestarikan kawasan hutan TNBBS karena dengan lestarinya hutan, penghidupan mereka dapat berjalan. Seperti air untuk mengairi sawah, ladang, mikrohidro, perikanan dan lain sebagainya. Disisi lain, masyarakat yang berhubungan langsung dengan kawasan TNBBS tidak sepenuhnya mengetahui peran dan fungsi dari keberadaan kawasan tersebut, sehingga masyarakat merusak kawasan hutan TNBBS seperti merambah, menebang pohon, menjual satwa dan tumbuhan dilindungi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dikategorikan sebagai ketergantungan negatif.
Masyarakat yang mempunyai ketergantungan positif terhadap kawasan TNBBS terus dibina dalam melestarikan hutan, sedangkan masyarakat yang mempunyai ketergantungan negatif perlu disadarkan dan dibina untuk ikut melestarikan hutan. Kegiatan penyadartahuan dan bina masyarakat dapat dilakukan salah satunya melalui kegiatan pendampingan masyarakat daerah penyangga melalui peran fungsional Penyuluh Kehutanan, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Polisi Kehutanan (Polhut) bersama Pamswakarsa, MPHS, mitra, penegak hukum, peneliti, penentu kebijakan, Penyuluh Pertanian dan Penyuluh Perikanan.
Adapun permasalahan yang dihadapi pengelolan TNBBS yaitu :
• Illegal logging
• Perambahan hutan
• Kebakaran hutan
• Penambangan yang berpotensi masuk ke kawasan hutan TNBBS
• Perburuan/perdagangan/penyelundupan/pencurian tumbuhan dan satwa liar secara ilegal
• Pemanfaatn jasa lingkungan & wisata alam yang belum berkembang
• Illegal fishing masuk cagar alam laut TNBBS
• Jumlah desa di sekitar kawasan TNBBS + 124 desa dengan tingkat pendidikan & keahlian masyarakat terutama sekitar hutan yang masih rendah.
Adanya permasalahan-permasalahan tersebut, Penyuluh Kehutanan TNBBS diharapkan mampu merubah PSK (Perilaku, Sikap dan Keterampilan) masyarakat agar mereka mandiri dan peduli terhadap konservasi sehingga mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan TNBBS. Sebagai fasiliitator dan pendamping masyarakat, Penyuluh Kehutanan mempunyai tugas untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam melestarikan hutan dan meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan TNBBS sehingga kesejahteraan dan kemandirian masyarakat meningkat, baik dalam kegiatan perlindungan, pengawetan maupun pelestarian yang bermanfaat yang merupakan indikasi keberhasilan pembangunan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya.
Berbagai kegiatan penyuluhan dapat dilakukan dalam hal perlindungan pengawetan dan pelestarian yang bermanfaat. Dalam lingkup kegiatan perlindungan hutan, seperti mencegah, menanggulangi dampak gangguan/kerusakan hutan oleh manusia dan alam; penegakan hukum; dan mengurangi degradasi hutan, kagiatan penyuluhan dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi aturan yang terkait dengan perlindungan, sosialisasi aturan tentang sanksi-sanksi sesuai ketentuan, memberikan pemahaman tentang perlindungan ekosistem hutan. Dalam hal ini Penyuluh Kehutanan dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerjasama dengan Polhut, Pamswakarsa, MPHS, Mitra dan aparat penegak hukum, serta multi pihak lainnya.

Dalam lingkup kegiatan pengawetan hutan untuk pencegahan erosi; kemurnian jenis dan genetik; mempertahankan keseimbangan/ kualitas/kuantitas jenis dan genetik; pemulihan jenis dan genetik; serta pengembangan riset dan pendidikan; kegiatan penyuluhan dilakukan dengan memberikan pelatihan bagi masyarakat, membuat percobaan penangkaran dan budidaya flora - fauna, memperkenalkan jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi kepada masyarakat terutama generasi muda (pelajar dan mahasiswa), dan memberikan bimbingan teknis mulai dari pembibitan sampai pemeliharanan tanaman jenis lokal.
Sedangkan dalam lingkup pelestarian yang bermanfaatan dalam hal penguasaan potensi; pemanfaatan dan pemberdayagunaan; penguasaan teknologi (budidaya, pengelolaan produk, rekayasa genetika); dan pemberdayaan masyarakat; kegiatan penyuluhan yang dapat dilasaksanakan diantaranya memberikan bimbingan teknis, mendampingi masyarakat dalam pemanfaatan flora dan fauna, memberikan bimbingan dalam kegiatan budidaya, bersama masyarakat melakukan uji coba rekayasa genetik dan menjadi fasilitator dalam peningkatan kapasitas masyarakat. Kegiatan penyuluhan dalam lingkup kegiatan pengawetan hutan dan pelestarian yang bermanfaat tersebut dapat dilaksanakan dengan bekerjasama bersama PEH, peneliti, mitra, penyuluh pertanian dan penyuluh perikanan, serta multi pihak lainnya.
Semua kegiatan penyuluhan tersebut dapat berjalan tentunya tidak terlepas dari penentu kebijakan di Balai Besar TNBBS. Sesuai dengan amanat UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, harapan ke depan, Penyuluh Kehutanan TNBBS dapat mewujudkan pemberdayaan/pendampingan masyarakat di dalam maupun disekitar kawasan TNBBS sesuai dengan tupoksinya dengan bekerjasama dalam menjalankan tugasnya bersama PEH, Polhut, Pamswakarsa, MPHS, mitra, penegak hukum, peneliti, Penyuluh Pertanian dan Penyuluh Perikanan.

2.4 Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di TNBBS

Peristiwa kebakaran hutan seperti halnya peristiwa gangguan keamanan lainnya merupakan peristiwa yang sulit untuk diramalkan kejadiannya. Unsur terjadinya kebakaran hutan ada tiga yaitu : temperatur (panas), udara (oksigen), dan benda yang dapat terbakar (bahan bakar). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tipe, beberapa penyebab, lokasi-lokasi yang rawan kebakaran hutan yang terjadi di kawasan TNBBS khususnya di Way Canguk – Pemerihan, dan menentukan sistem manajemen pencegahan dan penanggulangan kebakarannya.

Penelitian dilaksanakan di kawasan TNBBS dengan mengadakan studi kasus di wilayah Way Canguk – Pemerihan Lmpung Barat pada tanggal 15 Februari – 23 Juli 2001. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling dan membuat plot contoh di areal bekas kebakaran da tumbuhan bawah tegakan hutan yang belum terbakar. Plot contoh yang diambil sebanyak 15 dengan intensitas sampling 0,5 % dengan luas areal yang terbakar dan tumbuhan bawah tegakan hutan seluas 300 ha.

Kebakaran hutan yang terjadi di daerah Way Canguk sampai Pemerihan Lampung Barat adalah kebakaran permukaan (surface fire). Banyaknya pohon yang mati di areal 300 ha yang terbakar sebanyak 44 pohon atau 14,05 % dari total jumlah pohon dari 15 plot yang diambil yaitu 313 pohon dengan luas 1,5 ha. Total skor rata-rata tumbuhan bawah adalah 11,49 % yang mempunyai kriteria kerawanan kebakaran hutan yang rendah. Lokasi-lokasi yang rawan kebakaran hutan di kawasan TNBBS adalah Way Canguk kiri dan kanan, Sumberejo, Kaur gading, Pemerihan dan Sekincau.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak TNBBS untuk meminimalkan kebakaran hutan adalah melibatkan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui pendekatan kesejahteraan masyarakat (prosperity appoach), penyuluhan, penambahan rambu-rambu peringatan di setiap batas zonasi kawasan dan melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan.

Kebakaran hutan di TNBBS khususnya di wilayah Way canguk dan Pemerihan disebabkan oleh faktor manusia yang sering melakukan kegiatan perambahan kawasan, pembukaan lahan untuk persawahan dan kebun, dan didukung oleh musim kemarau yang panjang.


2.5 Pencurian hasil Hutan di TNBBS

Adanya tekanan dari masyarakat terhadap hutan akan mengganggu fungsi hutan sebagai pengatur tata air serta kelestarian flora dan fauna. Tekanan tersebut dapat berupa penyerobotan lahan, perladangan liar, penggembalaan liar dan pencurian hasil hutan. Mengingat hasil hutan tersebut dapat berupa kayu dan non kayu maka akibat pencurian hasil hutan tersebut telah menimbulkan kerugian yang cukup besar. Dari waktu ke waktu pencurian hasil hutan cenderung meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Selain kerugian materiil berupa hilangnya hasil hutan baik kayu maupun non kayu, pencurian hasil hutan juga berpengaruh terhadap turunnya potensi hutan yang pada akhirnya akan mengancam kelestarian hutan.

2.6 Pengaruh Pembangunan Jalan di TNBBS

Pembangunan jalan untuk sarana transfortasi merupakan kebutuhan yang cukup utama dan mendesak. Pembukaan hutan untuk pembangunan jalan dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup besar bagi kehidupan organisme didalamnya. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa kehilangan habitat yang luasnya lebih besar dari areal yang dibuka dan terjadinya fregmentasi habitat sehingga menjadi penghalang pergerakan organisme.
Fenomena tersebut dapat dipelajari dengan menggunakan konsep pengaruh tepian (edge efeect). Lebar pengaruh tepian umumnya berfariasi menurut spesies atau kelompok spesies. Hal ini dapat dipelajari dengan mengidentifikasi dan mengamati rasio keberadaan spesies tepi dan spesies interior serta veg etasi yang menjadi komponen habitatnya. Pengaruh tepian organisme semakin penting bila pembangunan jalan terjadi didalam kawasan konservasi seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pembangunan jalan yang telah dilaksanakan pada tahun 1993, diperkirakan telah menimbulkan pengaruh tepian di TN tersebut. Pengaruh tepian tersebut diperkirakan akan semakin besar bila aktifitas lalu lintas semakin tinggi. Pembangunan jalan tersebut juga akan meningkatkan aksesbilitas kewilayah TN, sehingga dapat memperbesar peluang terjadinya gangguan terhadap sumberdaya di kawasan itu, baik berupa perburuan, perdaganga, perambahan maupun pencurian kayu.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Kawasan TNBBS membentang melalui tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Barat, Lampung (masing-masing 10.500 ha dan 280.300 ha), dan Kabupaten Kaur, Bengkulu (66.000 ha).
2. Potensi yang dimiliki oleh TNBBS antara lain potensi biodiversitas, objek wisata alam, potensi sumber daya air, potensi karbon, dan potensi sumber panas bumi.
3. Masyarakat yang mempunyai ketergantungan positif terhadap kawasan TNBBS terus dibina dalam melestarikan hutan, sedangkan masyarakat yang mempunyai ketergantungan negatif perlu disadarkan dan dibina untuk ikut melestarikan hutan.
4. Permasalahan yang dihadapi TNBBS antara lain illegal logging, perambahan hutan, kebakaran hutan, penambangan yang berpotensi masuk ke kawasan hutan TNBBS, perburuan/perdagangan/penyelundupan/pencurian tumbuhan dan satwa liar secara ilegal, pemanfaatn jasa lingkungan & wisata alam yang belum berkembang, illegal fishing masuk cagar alam laut TNBBS, dan sebagainya.

Saran

Penyusun menyarankan kepada pembaca yang ingin melakukan penelitian di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) agar tidak hanya melakukan studi pustaka saja, tetapi juga melakukan survei langsung ke TNBBS.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Universitas Lampung

About Me

Foto saya
Bandar lampung, Lampung, Indonesia
catatan kebersamaan mahasiswa Biologi '08 FKIP Unila

Followers


Recent Comments