Konservasi Biodiversitas

Pendahuluan

Kepunahan merupakan fakta hidup. Spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Kita dapat memahami ini melalui catatan fosil. Tetapi, spesies sekarang ini menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan olej kegiatan manusia. Di masa geologi yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang mengisi celah atau ruang yang ditinggalka. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah hilang.

Beberapa spesies lebih rentan terhadap kepunahan daripada yang lain. Ini termasuk:

 Spesies pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar (misal macan). Karnivora besar biasanya memerlukan teritorial yang luas untuk mendapatkan mangsa yang cukup. Oleh karena populasi manusia terusu merambah areal hutan dan oleh karena habitatnya menyusut, maka jumlah karnivora yang dapat ditampung juga menurun.
 Spesies lokal endemik (spesies yang ditemukan hanya di suatu area geografis) dengan distribusi yang sangat terbatas. Ini sangat rentan terhadap gangguan habitat lokal dan perkembangan manusia..
 Spesies dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi terlalu kecil, maka menemukan pasangan atau perkawinan mejadi problem yang serius.
 Spesies migratori. Spesies yang memerlukan habitat yang cocok untuk mencari makan dan beristirahat pada lokasi yang terbentang luas sangat rentan terhadap kehilangan ‘stasiun habitat peristirahatan’ nya.
 Spesies dengan siklus hidup yang sangat kompleks. Bila siklus hidup memerlukan beberapa elemen yang berbeda pada waktu yang sangat spesifik, maka spesies ini rentan bila ada gangguan pada salah satu elemen dalam siklus hidupnya.
 Spesies spesialis dengan persyaratan yang sangat sempit seperti sumber makanan yang spesifik, misal spesies tumbuhan tertentu.


Mengapa mengonservasi biodiversitas?

Alasan ekologi
Spesies secara individu dan ekosistem telah berkembang berjuta-juta tahun ke dalam ketergantungan yang kompleks. In dapat dianalogikan dengan teka-teki silang yang besar yang terdiri dari potongan yang saling mengunci. Bila kita menghilangan sebagian potongan maka rerangka keseluruhannya akan rusak. Semakin besar habitat dan spesies hilang maka semakin besar pula bahaya keruntuhan total akan terjadi. Kehilangan spesies di ekosistem tropis seperti hutan hujan tropris sangat mengawatirkan.

Kerusakan hutan pada laju yang sekarang telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1 oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrem yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi.

Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan melindungi daerah aliran sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan curah hujan dan perubahan pola distribusinya. Ini juga menyebabkan erosi dan banjir. Apa yang disampaikan di atas hanya beberapa dampak ekologis dari deforestasi, yang dampaknya berpengaruh langsung pada manusia.

Alasan ekonomi
Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan konsekuensi ekonomi serius pada wilayah yang terkena. Biaya untuk mengatasinya bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk kesengsaraan manusian yang terkena. Erosi dan penggurunan karena deforestasi menurunkan kemampuan masyarakat setempat untuk menanam tanaman dan memberi makan mereka sendiri.

Ekploitasi sumbedaya hutan yan tidak lestari pada akhirnya juga berakhir dengan kehancuran industri hasil hutan. Bila metode lestari yang dipergunakan, areal yang dipanenan ditanami kembali, maka ini bukan merupakan substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.

Kehilangan biodivesitas secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimian yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting. Di samping itu kerabat liar dari berbagai tanaman pertanian merupakan sumber gen resisten terhadap berbagai penyakit. Bila merekan juga hilang maka tanaman pertanian kita juga rentan terhadap kepunahan.

Alasan etis
Ketika hutan dan habitat lainnya hilang atau terdegradasi, maka demikian juga tradisi dan matapencaharian masyarakat lokal yang didasarkan pada habitat tersebut. Pola hidup dan dalam kasus ekstrem, kehidupan masyarakat, mungkin akan teracam. Di daerah tropis masyarakat yang bergantung pada hutan dengan tradisinya yang tua yang subsisten pada lahan hutan sedang terdesak oleh aktivitas seperti pembalakan, peternakan, pertambangan, perkebunan skala besar dsb. Pertanyaannya adalah apakah menghancurkan pola hidup dan tradisi yang menyebabkan kepunahan masal dapat diterima dalam upaya mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek?

Alasan estetis
Semua orang akan setuju bahwa areal bervegetasi dengan semua kandungan kehidupannya akan lebih menarik daripada yang terbakar, lanskap yang rusak atau bangunan beton yang luas. Kebeadaan manusia terkait dengan dunia alami.


Metode konservasi

Ada dua metode utama untuk mengoservasi biodiversitas, yaitu konservasi in situ (dalam habitat alaminya) dan konservasi ex situ (di luar habitat alaminya).


Strategi dan managemen konservasi

Struktur vasiasi genetik di dalam dan di antara spesies merupakan suatu fitur yang melekat (inherent) dalam evolusi flora dan fauna dan dengan demikian perlu dipertimbangkan dalam strategi konservasi. Variasi genetik juga dipengaruhi baik secara langsung maupun tak langsung oleh banyak aktivitas manusia, dari tak sengaja sampai ke managemen yang intensif.

Bila melakukan konservasi in situ, mungkin perlu untuk menyediakan lahan yang luas untuk mengonservasi lukang gen (gene pool) yang cukup, karena distribusi diversitas pada geografi yang luas dan kompleksitas sistem perkawinan yang berlaku. Hanya menghitung jumlah pohon tidaklah cukup untuk menentukan ukuran populasi efektif dari suatu spesies dan hanya dengan menghitung spesies tidaklah cukup untuk menentukan eksitensi dari sumberdaya genetik spesies tumbuhan dan binatang.

Pengetahuan mengenai persyaratan untuk melestarikan kebanyakan spesies (flora dan fauna) umumnya sangat minim, dan kemampuan untuk mengorganisasi program konservasi juga rendah. Sebagai akibatnya, konservasi sering direduksi menjadi melindungi areal di pusat-pusat diversitas dengan harapan bahwa diversitas genetik dan diferensiasinya juga terkonservasi.

Pada kebanyakan spesies pohon, variasi genetiknya tinggi. Tetapi tidak semua spesies harus dikembangkan untuk pemanfaatanya. Bila tujuannya terbatas, program konservasi yang pasti kemudian dapat ditentukan. Bila spesies digolongkan menurut tujuan program managemen, maka mereka yang nilainya terletak dalam fungsi non-produksi hanya dapat dikelola secara in situ dan direproduki secara alami. Untuk kebanyakan spesies intervensi management tidaklah mungkin, tetapi beberapa bentuk managemen (melalui regulasi penebangan pohon atau pemeliharaan prventif) dapat mempegaruhi ukuran populasi, struktur dan distribusi genotipe, sehingga menjaga variasi genetik yang diperlukan untuk viabilitas populasi dan evolusi dari spesies.

Untuk kebanyakan spesies yang nilainya tidak diketahui, konservasi variasi genetik tergantung kepada perlindungan tegakan in situ. Meskipun beberapa spesies mungkin akhirnya diketemukan memiliki manfaat seperti kayu, obat-obatan, dan produk yang lain, perlindungan sementara akan sebagian besar tergantung kepada kualitas program in situ. Penyimpanan benih mungkin merupakan metode yang layak untuk mengonservasi sampel variasi, dan ini mungkin perlu untuk spesies pada habitat yang rusak.

Pada hewan variasi demografi sangat penting. Ini merupakan variasi yang normal dalam laju kelahiran dan kematian serta nisbah seks (sex ratio) yang disebabkan oleh perbedaan acak antara individu dalam populasi. Ukuran populasi dapat mengalami fluktuasi hanya semata-mata karena perbedaan acak dalam repoduksi dan kemampuan hidup. Fluktuasi yang acak seperti ini dapat terjadi cukup ekstrem sehingga menyebabkan populasi punah. Misalnya, pada populasi yang kecil bila dalam satu generasi individu yang dilahirkan semuanya terdiri dari hanya satu jenis kelamin, maka populasi ini akhirnya akan punah. Variasi lingkungan juga berpengaruh pada kemampuan populasi untuk mereproduksi dan bertahan hidup. Populasi yang peka terhadap variasi lingkungan ukurannya lebih berfluktuasi daripada populasi yang kurang peka, dan bahaya kepunahan meningkat. Bencana alam seperti epidemi penyakit berpengaruh mirip dengan variasi lingkungan.


Konservasi in situ

Konservasi in situ berarti konservasi dari spesies target ‘di tapak (on site)’, dalam ekosistem alami atau aslinya, atau pada tapak yang sebelumnya ditempat oleh ekosistem tersebut. Khusus untuk tumbuhan meskipun berlaku untuk populasi yang dibiakkan secara alami, konservasi in situ mungkin termasuk regenerasi buatan bilamana penanaman dilakukan tanpa seleksi yang disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduktif lainnya dikumpulkan secara acak.

Secara umum, metode konservasi in situ memiliki 3 ciri:
 Fase pertumbuhan dari spesies target dijaga di dalam ekosistem di mana mereka terdapat secara alami;
 Tataguna lahan dari tapak terbatas pada kegiatan yang tidak memberikan dampak merugikan pada tujuan konservasi habitat;
 Regenerasi target spesies terjadi tanpa manipulasi manusia atau intervensi terbatas pada langkah jangka pendek untuk menghindarkan faktor-faktor yang merugikan sebagai akibat dari tataguna lahan dari lahan yang berdekatan atau dari fragmentasi hutan. Contoh dari manipulasi yang mungkin perlu pada ekosistem yang telah berubah adalah regenerasi buatan menggunakan spesies lokal dan pengendalian gulma secara manual atau pembakaran untuk menekan spesies yang berkompetisi.

Persyaratan kunci untuk konservasi in situ dari spesies jarang (rare species) adalah penaksiran dan perancangan ukuran populasi minimum viable (viable population areas) dari target spesies. Untuk menjamin konservasi diversitas genetik yang besar di dalam spesies, beberapa area konservasi mungkin diperlukan, jumlah yang tepat dan ukurannya akan tergantung kepada distribusi diversitas genetik dari spesies yang dikonservasi. Penjagaan dan berfungsinya ekosistem pada konservasi in situ tergantung kepada pemahaman beberapa interaksi ekologi, terutama hubungan simbiotik di antara tumbuhan atau hewan, penyebaran biji, jamur yang berasosiasi dengan akar dan hewan yang hidup di dalam ekosistem.


Ukuran populasi viabel minimum

Konsep ukuran populasi viabel minimum berarti bahwa populasi dalam suatu habitat tidak dapat berlangsung hidup bila jumlah organisme berkurang di bawah ambang batas tertentu. Ini merupakan konsep yang kompleks karena tidak ada ukuran populasi viabel minimun yang diketahui untuk kebanyakan spesies. Suatu populasi untuk suatu ukuran apakah dapat bertahan tergantung pada sejumlah peristiwa random atau tak dapat diprediksi, genetik, dan lingkungan. Tambahan lagi, ukuran populasi bervariasi dengan atribut seperti sejarah hidup, terutama rentang generasi (daur) dan sistem perkawinan dan distribusi spasial dari sumberdaya. Meskipun demikian, ukuran populasi viabel telah ditaksir untuk beberapa kelompok organisme berdasarkan kriteria genetik.

Karakteristik biologi yang penting untuk populasi minimum viabel

Lama generasi: Diversitas genetik hilang dari generasi ke generasi, bukan tahun ke tahun. Spesies dengan generasi yang lebih lama akan lebih kecil kesempatan kehilangan diversitas genetiknya. Dengan demikian ukuran populai minium viabelnya akan lebih kecil.

Jumlah individu awal (founder): Agar efektif populasi awal harus mampu bereproduksi dan terwakili oleh keturunan dari populasi yang ada. Secara teknis, populasi awal seharusnya tidak berkerabat satu sama lain (non-inbred). Pada dasarnya ukuran populasi awal yang lebih besar akan lebih baik, yakni lebih mewakili lukang gen yang dikonservasi.

Ukuran populasi efektif: Ne (populasi efektif) merupakan ukuran bagaimana anggota populasi bereproduksi dengan yang lain untuk meneruskan gen ke generasi berikutnya. Ne tidak sama dengan N (jumlah sensus); Ne biasanya lebih kecil daripada N.

Laju pertumbuhan: Pertumbuhan yang lebih tinggi maka semakin cepat populasi dapat pulih dari efek populasi kecil dan mengurangi dari resiko demografi dan keterbatasan diversitas genetik.

Secara genetik ada tiga pendekatan umum untuk menaksir ukuran populasi minimum viabel. Salah satu pendekatan adalan menaksir populasi efektif berdasarkan kemampuan bertahan dari kehilangan variabilitas genetik karena ukuran populasi yang kecil. Untuk populasi hewan, kehilangan variabilitas genetik karena kawin kerabat (inbreeding) dapat dihindarkan jika laju atau koefisien inbreeding per generasi (F) dapat dijaga di bawah 2 %. Bila F diketahui, maka ukuran populasi efektif (Ne) dapat dihitung dengan rumus sbb:

1
F =
2Ne

Dengan demikian ukuran populasi efektif sebesar 25 akan cukup bila inbreeding 2 % per generasi dapat diterima. Seandainya diambil angka laju inbreeding sebesar 1 % sebagai taksiran konservatif yang dapat diterima pada hewan, maka ukuran populasi minimum menjadi 50. Ukuran populasi efektif ini umumnya cukup untuk periode pendek (beberapa generasi), sesudah itu populasi kaptif dapat dilepaskan di alam dan variasi mungkin meningkat. Tetapi, penerapan pendekatan ini dan ukuran populasi efektif yang tertaksir untuk spesies pohon hutan masih dipertanyakan. Pendekatan matematis seperti ini menyederhanakan realitas biologi yang kompleks. Meskipun ukuran populasi besarnya sama seperti yang diperoleh dari pendekatan model ekologi, pengaruh acak demografi pada ukuran total yang diperlukan akan lebih besar karena faktor-faktor independen dan kehilangan secara random di dalam populasi.


Pendekatan kedua adalah menaksir ukuran populasi efektif berdasarkan jumlah yang diperlukan untuk mempertahankan potensi evolusi dari populasi.

Pada organisme diploid, bila dua alel pada suatu lokus berasal dari gen yang sama, maka ini disebut identik. Individu menjadi homosigos pada lokus tersebut, misal AA. Tetapi homosigos mungkin juga terjadi bila masing-masing dari dua alel tersebut tidak berasal dari gen yang sama. Misalnya, suatu perkawinan antara sepupu mungkin menghasilkan homosigos yang mengandung gen yang asalnya identik, dan pada saat yang sama, juga menghasilkan individu homosigos untuk gen dari asalnya berbeda. Dua gen yang terakhir ini dikatakan mirip tetapi tidak identik. Dalam inbreeding, kepedulian kita adalah pada gen identik, dan probabilitas bahwa dua gen dalam suatu zigot adalah identik merupakan koefisien inbreeding (F).

Kita akan lebih mudah mengukur koefisien inbreeding bila tingkat perkawinan antara kerabat diketahui. Bila tidak diketahui, maka ini dapat ditaksir berdasarkan ukuran populasi. Misalnya, andaikan suatu populasi dengan 50 individu diploid, yang sama sekali tidak ada yang memiliki alel yang sama pada lokus tertentu; jadi ada 100 alel dalam populasi ini: A1, A2, A3… A100. Andaikan pula bahwa gamet dari setiap individu merupakan tipe jantan dan betina dan menyatu satu sama lain selama perkawinan. Bila kita membatasi perhatian kita pada lokus tersebut, yaitu A, maka ada 100 macam gamet, masing-masing berbeda satu sama lainnya tetapi identik dengan gametnya sendiri. Dengan kata lain, 1/100 dari gamet identik dan probabilitas untuk mengambil suatu gamet yang identik dengan yang telah dipilih adalah 1/100, atau 1/(2N), di mana N merupakan jumlah individu diploid. Menurut definisi di atas, besaran inimerupakan koefisien inbreeding untuk satu generasi penyatuan di antara gamet dalam populasi dengan ukuran N.

Pada generasi berikutnya akan terdapat lagi 2N gamet yang berbeda yang dihasilkan oleh tetua baru, dan probabilitas dari inbreeding adalah juga 1/2N. Di samping gamet yang dihasilkan oleh individu heterosigos, beberpa gamet akan berasal dari individu homosigos identik. Proporsi tambahan dari gamet identik ini akan meningkatkan kemungkinan terbentuknya homosigos identik. Secara matematik, bila probabilitas dari homosigos identik yang baru sebesar 1/(2N) untuk sebarang generasi, maka probabilitas dari zigot yang tersisa sebesar 1-(2N), akan memiliki gen identik dan ini merupakan koefisien inbreeding dari generasi sebelumnya. Jadi koefisien inbreeding (F) dari generasi 2 adalah F2 = (1/2N) + [1-(1/2N)]F1, di mana F1 adalah koefisien inbreeding dari generasi 1. Perhitungan koefisien inbreeding untuk generasi selanjutnya mengikuti pola yang sama.

F0 = 0
F1 = 1/(2N)
F2 = 1/(2N) + (1 - 1/(2N))F1
F3 = 1/(2N) + (1 - 1/(2N))F2
Fn = 1/(2N) + (1 – 1/(2N))Fn-1

A1A1 aa



aa A1a A1a A2a


A1a A1A2


A1A1 A1A2 A1a
Identik mirip berbeda
Telah ditaksir bahwa bila Ne sebesar 500 individu, suatu populasi panmiktik (panmictic population), yaitu perkawinan terjadi sepenuhnya random, maka kecil kemungkinannya untuk kehilangan variasi genetik karena damparan genetik (genetic drift) dan dapat mempertahankan variasi yang cukup untuk merespons tekanan seleksi yang berubah. Dengan anggapan bahwa nisbah antara jumlah sensus (N) dan ukuran populasi efektif (Ne) sebesar 3 atau 4, maka ukuran populasi minimum menjadi 1.500 atau 2.000 individu. N dan Ne tersebut keduanya untuk spesies berkawin silang (outbreeding) dan berumah satu. Perlu diketahui bahwa Ne biasanya lebih kecil daripada N.

Pendekatan ketiga didasarkan pada perhitungan ukuran populasi yang akan meminimumkan kehilangan alel dengan frekuensi kecil. Para pakar telah menaksir bahwa dalam spesies yang diketahui laju inbreedingnya serta struktur populasinya, ukuran sampel sebesar 1.000 individu akan memberikan probabilitas kehilangan suatu alel dengan frekuensi 1 % pada suatu lokus akan di bawah 1%. Bila jumlah lokus dengan alel langka (rare allele) meningkat maka jumlah individu yang diperlukan untuk meminimumkan kehilangan alel tersebut akan meningkat pula.

Ukuran yang disebutkan di atas didasarkan pada ukuran populasi minimum yang diperlukan untuk fleksibilitas evolusi dan kelangsungan hidup. Tetapi, ukuran populasi minimum merupakan konsep probabilitik dan bukan jumlah yang tetap dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor bilogi, lingkungan dan genetik. Probabilitas kepunahan suatu populasi tegantung tidak hanya pada sejarah evolusi spesies yang lampau dab strutur genetik yang sekarang, tetapi juga pada demografi dan keacakan lingkungan. Dengan demikian, ukuran populasi minimum akan berbeda di antara spesies dan di antara habitat untuk spesies yang sama.

Jumlah ‘kawasan perlindungan’ dan strategi sampling

Meskipun banyak literatur yang mengulas mengenai konservvasi populasi tertentu, konservasi in situ pada kenyataannya mempreservasi seluruh komunitas. Jumlah populasi dan spesies yang memerlukan perlindungan di alam sedemikian besar sehingga tidak praktis untuk merancang program konservasi in situ berdasarkan pada spesies secara individu dan populasinya.

Di area di mana beberapa spesies dikonservasi secara berbarengan dalam suatu kawasan perlindungan (reserve), timbul masalah untuk menjamin bahwa jumlah dan distribusi populasi yang mengandung spesies ini mencukupi untuk menjaga diversitas genetik pada reserve tungal maupun ganda. Tanpa adanya informasi mengenai distribusi variasi genetik, maka akan sulit untuk memperkirakan jumlah dan distribusi populasi pada satu reserve atau lebih yang mungkin diperlukan untuk menjaga variabilitas genetik. Informasi mengenai tingkat migrasi spesies juga masih sedikit. Beberapa spesies tingkat migrasi mungkin mendekatai nol, sedangkan yang lain mungkin besar. Kemampun kawasan perlindungan utnk menjaga dinamika evolusi di dalamnya memiliki dampak yang signifikan pada migrasi.

Oleh karena pohon hutan umumnya memperlihatkan variasi antara populasi, beberapa reserve kecil tersebar pada area geogarfis yang luas mungkin dapat mengonsevasi diversitas genetik total lebih efektif daripada kawasan perlindungan tunggal berukuran besar. Secara teori, dan demi kemudahan pelaksanannya, viabilitas populasi tunggal dapat dipertahankan dengan ukuran populasi efektif sebesar 50 sampai 100 individu reproduktif, dan bila mungkin mengandung beberapa ribu pada paling tidak 50 kawasan perlindungan.

Untuk kebanyakan spesies pohon hutan areal dengan 50 sampai 100 individu mungkin terlalu kecil untuk menjaga integritas interaksi mutualistik dan menghindarkan ketidak stabilan karena peristiwa random. Populasi yang lebih besar diperlukan dan dipertahankan atau metode harus dikembangkan untuk meningkatkan migrasi benih dan tepungsari, seperti penanaman atau membuat koridor untuk penyebaran benih dan tepungsari. Dengan demikian, sistem reserve yang dipandang cukup untuk suatu spesies mungin kurang bagi yang lain.

Untuk menentukan kecukupan dari sistem kawasan perlindungan, strategi inventarisasi dapat dipergunakan. Jumlah kelompok spesies tertentu, tipe penutupan, atau spesies kunci dapat diinventarisasi dan dipetakan dan area yang diperlukan untuk kecukupan sampling alel kemudian dapat ditentukan.



Spesies pohon tropis mungkin memerlukan reserve yang lebih besar

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa spesies pohon tropis, termasuk spesies hutan hujan tropis, berkawin silang. Tetapi kerapatan populasi dari pohon yang berukuran besar, yang merupakan sumberdaya genetik yang penting, umumnya sangat rendah (1 sampai beberapa pohon per ha). Seadainya spesies ini terdistribusi merata (banyak yang tidak), area seluas 20 km2 akan diperlukan untuk mencakup 2.000 individu. Untuk spesies yang paling jarang di Asia Tenggara Asthon (1981) menaksir kebutuhan area seluas 200 km2 untuk mencakup 200 individu.

Banyak area untuk konservasi biodiversitas memiliki luas di bawah ukuran minimum yang ditaksir di atas untuk satu spesies pada area yang bersambungan. Kebanyakan spesies tidak terdistribusi merata, dan variasi temporal dalam area reserve mungki juga ada. Dengan demikian, sangat logis untuk mempertimbangkan area minimum yang diperlukan untuk menjada populasi yang viabel dalam satu atau beberapa reserve. Tambahan lagi, spesies jarang mungkin kenyataannya tidak jarang di tempat lain. Reserve ganda mungkin mengonservasi lebih banyak spesies jarang daripada reserve tunggal. Meskipun demikian ukuran reserve harus sangat luas untuk beberapa spesies.






Konservasi ex situ

Konservasi ex situ merupakan metode konservasi yang mengonservasi spesies di luar distribusi alami dari populasi tetuanya. Konservasi ini merupakan proses melindungi spesies tumbuhan dan hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan manusia.

Kebun botani (raya), arboretum, kebun binatang dan aquarium merupakan metode konservasi ex situ konvensional; Fasilitas ini menyediakan bukan hanya tempat terlindung dari spesimen spesies langka tetapi juga memiliki nilai pendidikan. Fasilitas ini memberikan informasi bagi masyarakat mengenai status ancaman pada spesies langka dan faktor-faktor yang menimbulkan ancaman dan membahaykan kehidupan spesies.

Untuk tumbuhan metode konservasi ini mungkin menggunakan material reproduktif dari individu atau tegakan yang terletak di luar tapak populasi tetuanya. Metode dan material ex situ mencakup bank gen untuk benih atau tepungsari, bank klon, arboretum, populasi pemuliaan.

Penyimpanan benih, metode konservasi ex situ yang lain, merupakan penyimpanan benih pada lingkungan yang terkendali. Dengan pengendalian temperatur dan kondisi kelembaban, benih beberapa spesies yang disimpan akan tetap viabel (mampu hidup) untuk beberapa dekade. Teknik ini merupakan konservasi yang utama pada tanaman pertanian dan mulai dipergunakan untuk spesies pohon hutan.

Bank gen, bank klon, arboretum merupaka bentuk konservasi statis, yaitu konservasi yang menghidarkan sejauh mungkin perubahan genetik. Konservasi statik memiliki ciri:
 Genotipe merupakan target untuk konservasi,
 Efek seleksi alam dan proses genetik sangat terbatas dan
 Intervensi manusia diperlukan untuk menghidarkan proses genetik berlangsung selama konservasi.

Kultur jaringan juga memiliki potensi untuk dipergunakan sebagai metode konservasi yang baik. Teknik-teknik ini meliputi perbanyakan mikro (meristem, embrio sdb.). Ini merupakan teknik yang mahal, tetapi bila penyimpanan kriogentik (cryogenic storage) dikembangkan , maka teknik ini merupakan modetode konservasi yang terjamin. Penyimpanan kriogenik merupakan preservai bahan biologis dalam cairan nitrogen pada suhu 150oC – 196oC.

Hewan langka juga dapat dikonservasi melalui bankgen, dengan kriogenik untuk menyimpan sperma, telur atau embrio.

Bentuk yang paling umum untuk konservasi ex situ untuk pohon adalah tegakan hidup. Tegakan seperti ini sering kali bermula dari koleksi sumber benih dan dipelihara untuk pengamatan. Ukuran tegakan mungkin berkisar dari spesimen dalam kebun botani (raya) dan arboretum, sampai dengan beberapa pohon ornamental pada plot-plot kecil, atau plot-plot yang lebih besar untuk pohon.

Tegakan hidup yang cukup luas untuk tujuan konservasi misalnya apa yang dinamakan tegakan konservasi. Ini merupakan konservasi yang bersifat evolusinari dan berlawanan dengan konservasi statik dalam arti memiliki tujuan mendukung perubahan genetik sejauh hal ini berkontribusi pada adaptasi yan berkelanjutan. Konservasi evolusinari ini memiliki ciri:
 Pohon-pohon bereproduksi melalui benih dari satu generasi ke generasi berikutnya; gen akan terkonservasi tetapi genotipe tidak, karena rekombinasi gen akan terjadi pada setiap generasi.
 Invtervensi manusi bila ada, dirancang untuk memfasilitasi proses genetik yang moderat daripada menghindarkannya.
 Variasi genetik di antara populasi dari lingkungan yang berbeda secara umum dipertahankan.


Ada beberapa kelemahan konservasi ex situ. Konservasi ex situ ini sesungguhnya sangat bermanfaat unutk melindungi biodiversitas, tetapi jauh dari cukup untuk menyelamatkan spesies dari kepunahan. Metode ini dipengunakan sebagai cara terakhir atau sebabi suplemen terhadap konservasi ini situ karena tidak dapat menciptakan kembali habitat secara keselkuruhan: seluruh varisi genetik dari suatu spesies, pasangan simbiotiknya, atau elemen-elemennya, yang dalam jangka panjang, mungkin membantu suatu spesies beradaptasi pada lingkungan yang berubah. Sebalinya, konservasi ex situ menghilangkan spesies dari konteks ekologi alaminya, melindunginya di bawah kondisi semi-terisolasi di mana evolusi alami dan proses adaptasi dihentikan sementara atau dirubah dengan mengintroduksi spesimen pada habitat yang tidak alami. Dalam hal metode penyimpanan kriogenik, proses-proses adaptasi spesimen yang dipreservasi membeku keseluruhannya. Kelemahannya adalah bila spesimen ini dilepaskan ke alam, spesies mungkin kekurangan adaptasi genetik dan mutasi yang akan memungkinkannya untuk bertahan dalam habitat alami yang selalu berubah.

Di samping itu, teknik-teknik konservasi ex situ seringkali mahal, dengan penyimpanan kriogenik yang secara ekonomis tidak layak pada kebanyakan spesies. Bank benih tidak efektif untuk tumbuhan tertentu yang memiliki benih rekalsitran yang tidak tetap viabel dalam jangkan lama. Hama dan penyakit tertentu di mana spesies yang dikonservasi tidak memiliki daya tahan terhadapnya mungkin juga dapat merusakannya pada pertanaman ex situ dan hewan hidup dalam penangkaran ex situ. Faktor-faktor ini dikombinasikan dengan lingkingan yang spesifik yang diperlukan oleh banyak spesies, beberapa di antaranya tidak mungkin diciptakan kembali, membuat konservasi ex situ tidak mungkin dilakukan untuk banyak flora dan fauna langka di dunia.

Tetapi, bila suatu spesies benar-benar akan punah, konservasi ex situ menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa. Lebih baik mepreservasi suatu spesies daripada membiarkan punah seluruhnya.

posted under |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang menyangkut SARA dan hal yang admin anggap menyalahi, akan admin hapus.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Universitas Lampung

About Me

Foto saya
Bandar lampung, Lampung, Indonesia
catatan kebersamaan mahasiswa Biologi '08 FKIP Unila

Followers


Recent Comments